Penulis: Kurniawan et al.
Halaman: VIII+178 halaman
Penerbit: Tempo Publishing
Tahun: 2013
Pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S), pembantaian massal
simpatisan Partai Komunis Indonesia muncul dalam sejarah Indonesia. Pengakuan
para algojo memperkuat adanya tragedi tersebut.
Salah satu pemusnahan massal simpatisan PKI terjadi di
Kediri, Jawa Timur. Awal Oktober 1965, penghuni Pondok Pesantren Lirboyo
mendadak gaduh karena basis PKI akan menyerang Kediri. Menurut kesaksian
Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kiai Idris Marzuki, laporan ini didapat dari
seorang Komando Daerah Militer (Kodam) Kediri kepada Kiai Makhrus Aly, Pengasuh
Pondok Pesantren Lirboyo saat itu. Ini diperkuat dengan penemuan lubang-lubang
yang diduga berfungsi sebagai tempat pembuangan mayat para santri dan kiai.
Kiai Makhrus lantas menginstruksikan para santri untuk
bersiaga. Ia memberi pelatihan silat dan penerapan ilmu kebal untuk menghadapi
PKI. Bersama tentara, mereka sudah siap untuk melakukan operasi penumpasan PKI.
Militer sendiri memosisikan santri sebagai algojo di garis depan.
Pembunuhan massal di Kediri juga melibatkan Gerakan Pemuda
Ansor (GP Ansor) dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser), organisasi yang berada
di bawah naungan Nahdatul Ulama (NU). Keduanya mendapat instruksi setelah para
petinggi NU melaksanakan apel siaga yang membahas diskriminasi PKI terhadap
umat muslim. Atas dasar itu, mereka
bergerak untuk mengeksekusi simpatisan PKI. Pembantaian itu dilakukan
saat malam hari dan mayatnya langsung dibuang ke Sungai Brantas. Paginya,
sungai itu menjadi kuburan terapung yang berisi mayat manusia.
Peristiwa G30S juga terdengar hingga masyarakat Bali. Namun
saat itu situasi di Bali masih cenderung stabil. Gubernur Bali saat itu, Anak
Agung Bagus Sutedja menjadi faktor utama. Kalangan militer di Bali juga tak
menggubris desakan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Muhammadiyah untuk
mengganyang PKI.
Pembantaian massal di Bali baru terjadi saat 30 November
1965. Awal mulanya, seorang tentara dan dua anggota Banser mengintai rapat
gelap pengurus PKI di Tegalbadeng. Santun, seorang polisi yang bertugas menjaga
rapat, memergoki ketiganya. Para pengintai itu kemudian tewas setelah ia tembak
di tempat.
Insiden itu menyebar ke seluruh Bali. Komando Distrik
Militer (Kodim) Bali memerintahkan Ketua PNI untuk membentuk pasukan inti yang
dinamai Tameng. Menurut Mantan Sekretaris PNI yang juga bergabung dalam Tameng,
I Ketut Gusti Mantram, mereka ditugaskan membersihkan basis PKI berdasarkan
daftar nama dari Kodim. Selama tiga bulan, pasukan itu membantai dengan cara
menebas leher dan menusuk dada orang-orang PKI dan dikubur di pesisir pantai.
Lain halnya di Jawa Barat (Jabar), pembunuhan massal
terhadap PKI tak terjadi di sana. Perintah itu datang dari Mayor Jendral
Ibrahim Adjie. Kepada Peneliti Sejarah Indonesia Benedict Anderson, ia mengaku
untuk menyerukan kepada bawahannya agar tak membunuh dan memilih mengamankan
mereka yang berkecimpung di PKI.
Laporan di atas merupakan hasil liputan Tempo dalam
majalahnya bertema Pengakuan Algojo 1965 edisi 1-7 Oktober 2012. Dalam
tulisannya, Tempo berhasil memuat pembunuhan massa PKI berdasarkan sudut
pandang dari pelaku pembantaian. Majalah itu kemudian dibukukan dengan judul
Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965.
Tulisan Tempo terinspirasi dari Film The Act of Killing
(Jagal) karya Joshua Oppenheimer. Pengakuan Algojo PKI di Medan Anwar Congo
membuat Tempo terperangah untuk menerbitkan edisi ini. Dalam kesaksiannya,
Anwar melakukan penangkapan, penculikan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan,
serta pembuangan mayat anggota PKI.
Anwar yang saat itu bekerja sebagai preman bioskop ini
merasa terusik dengan gerak-gerik PKI. Ini terjadi lantaran film yang diputar
Anwar adalah film-film Amerika. Massa PKI berusaha memboikot film-film yang
menjadi mata pencaharian Anwar. Merasa terusik, ia bersama preman bioskop lain
menghabisi orang-orang tersebut.
Buku ini mengajak pembaca untuk melihat peristiwa kelam yang
terjadi dalam sejarah Indonesia. Dari sini, pembaca bisa melihat bagaimana
emosional pelaku pembunuhan dengan dukungan dari penguasa. Tempo menyajikan
awal-mula kebencian para algojo terhadap simpatisan PKI, mulai dari perintah
atasan sampai dendam pribadi.
Tak hanya pengakuan dari pelaku, buku ini juga menjelaskan
bagaimana pengakuan dari korban pelaku kejahatan 1965. Mereka yang disiksa,
dipukul, bahkan dilecehkan di dalam tahanan merasa tak tahu alasan mengapa
mereka ditangkap. Secara tidak langsung, pelaku merasa tidak diperlakukan adil
di mata hukum.
Bagaimanapun juga, sejarah harus tetap diungkap. Lebih baik
mengingat ketimbang melupakan. Meminjam kata Soekarno, bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri. Generasi saat ini
harus melek terhadap sejarah, walau kejadian kelam sekalipun.
*Tulisan ini juga dimuat di Website LPM Institut UIN Jakarta
0 Comments