Sumber: harianterbit.com |
8 Maret lalu, dunia merayakan sebuah peringatan, yang kemudian kita kenal sebagai Hari Perempuan Internasional. Peran perempuan saat ini tak bisa dipandang sebelah mata, Sebab, dari merekalah kita lahir ke dunia ini. Perjuangan para perempuan mulai dari kita lahir, membesarkan, hingga sampai akhir hayatnya memang patut diapresiasi.
Sebenarnya,
saya agak telat untuk membahas ini. Kesibukkan saya yang menahkodai sebuah
organisasi pers mahasiswa menjadi salah satu alasannya, ya selain sibuk kuliah
tentunya. Di Indonesia sendiri, saya agak mengagumi peran perempuan, yang juga
dari Jawa Tengah. Walaupun Ibu saya sendiri juga dari Jawa Tengah, bukan
berarti saya ngefans dia dari sisi primordial ya.
Iya,
saya akan membahas sosok perempuan yang berasal dari Blitar, Jawa Tengah.
Beliau bernama Raden Ayu Kartini. Tokoh ini adalah salah satu pelaku yang
membahas mengenai perjuangan, terlebih pada hak-hak perempuan. Namun apa daya,
yang ia lakukan hanya sebatas lewat surat menyurat.
Tetapi,
sebuah perjuangan memang layak untuk diacungkan jempol. Apalagi, ia berhasil
mengabadikan idenya via surat menyurat. Dalam artian, ia berhasil memelopori
sebuah budaya literasi di kalangan kaum perempuan saat itu. Sebelum angkat
topi, izinkan saya untuk membagi sebuah tulisan kecil mengenai beliau. Oke,
selamat membaca.
Kartini
lahir pada 1879 di Jepara yang keluarganya berasal dari bangsawan Jawa. Dalam
bukunya, Pram menguraikan perihal kelahiran Kartini, seperti apa masa kecilnya,
bagaimana dunia pribumi dan Barat dalam pandangan Kartini, entah itu adat Jawa,
seni, sastra, juga agama.
Ini
memang bukan murni buku biografi semata. Di dalamnya ada banyak interpretasi
Pram tentang Kartini beserta kondisi sosial budaya yang menyertainya. Karena
itu tak berlebihan rasanya jika dikatakan buku ini lebih merupakan pembahasan
Pram mengenai sosok Kartini dan pemikiran-pemikirannya. Bahkan Pram berani
berpendapat bahwa Kartini bukan sekadar pejuang emansipasi wanita, melainkan
juga pemikir modern Indonesia yang pertama.
Tanpa
adanya sosok Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin
terjadi. Kartini menggambarkan masyarakat pribumi di masanya sebagai
rimba-belantara yang gelap gulita. Obor-obor yang diharapkannya jadi penerangan
dalam kegelapan itu, tanpa malu-malu diakuinya adalah intelektualitas Eropa,
yang belum juga dimiliki oleh kaum pribumi.
Sumber: http://andisinuhaji.blogspot.co.id/2013/08/ra-kartini.html |
Pram mencoba menguraikan kondisi kejiwaan Kartini. Ada sesuatu dari kisah hidup Kartini yang menarik perhatian Pram: hubungan Kartini dengan ayahnya, Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat. Meski sangat menyayangi ayahnya, sebenarnya Kartini keberatan. Terlebih tentang perlakuan feodal sebagaimana layaknya yang terjadi di zaman itu. Jadi, hubungan Kartini dengan ayahnya bisa dibilang hubungan benci tapi rindu.
Sebagai
anak bupati, Kartini mendapat perlakuan sebagaimana layaknya anak golongan
bangsawan lainnya, dan ia tak menyukai perlakuan istimewa itu. Secara gamblang
Pram menyebutkan bahwa Kartini menolak sistem feodalisme Jawa yang berkembang
pada masa itu. Bentuk penolakan itu tampak jelas dari keinginannya untuk
dipanggil tanpa gelar bangsawan atau panggilan kebesaran, seperti termuat di
salah satu suratnya ke Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899 yang
berbunyi: “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku.”
Dalam
buku ini, pembaca diharapkan mampu menerawang bagaimana keadaan feodalisme di
Jawa pada akhir abad ke-19. Di media sosial sendiri, beberapa orang mungkin tak
setuju dengan sebutan Tokoh Emansipasi Wanita yang tertuju pada Kartini. Ia
dinilai hanya berperan lewat surat menyurat, tak ada aksi lanjutan. Berbeda
dengan pahlawan wanita lainnya dari Sunda, Dewi Sartika, yang mendirikan
sekolah untuk wanita, atau sang ksatria Aceh yang membunuh Cornelis de Houtman,
Malahayati.
0 Comments