Sumber: Adira.co.id
Pesona Gunung Ijen memang menjadi daya tarik tersendiri bagi siapapun yang mengunjunginya. Di sana, para turis bisa menemui pemandangan Kawah Ijen yang memukau hingga memaknai arti kehidupan dari aktivitas penambang belerang.

Kawah Ijen merupakan sebuah kawah di kawasan Gunung Ijen yang terletak di dua perbatasan antara Bondowoso dan Banyuwangi, Jawa Timur. Gunung Ijen sendiri masih berstatus gunung berapi yang aktif dengan ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut. Kawah ini memiliki dinding kaldera setinggi 300 hingga 500 meter dengan luasnya mencapai 5.466 hektar. Luas keliling kawah ini berkisar 20 km, sedangkan kedalamannya sepanjang 300 meter.

Pada bagian tenggara Kawah Ijen, terdapat kawasan solfatara yang kerap kali melepaskan gas vulkanik dengan konsentrasi sulfur yang cukup tinggi. Dampaknya, kawasan ini memiliki bau khas belerang yang sangat menyengat. Sedangkan di bagian barat, terdapat bendungan air yang menjadi hulu dari Sungai Banyupait. Di masa pemerintahan Belanda, bendungan ini digunakan untuk menampung level air danau agar tidak menimbulkan banjir asam. Namun, bendungan ini sudah tidak berfungsi lagi karena air tidak pernah mencapai pintu bendungan.

Kawah Ijen merupakan kawah gunung yang digunakan untuk tempat penambangan belerang yang terbesar di Indonesia. Pengelolaan belerang ini juga masih digunakan dengan cara tradisional oleh masyarakat sekitarnya. Kawah Ijen mempunyai sublimat belerang yang tidak akan pernah habis, karena dapat keluar secara terus menerus. Sublimat belerang ini bermanfaat untuk berbagai keperluan industri kimia dan juga bisa digunakan untuk bahan penjernih gula.

Nama Ijen sendiri sudah dikenal dunia sejak kedatangan wisatawan asal Prancis, Nicolas Hulot dan Katia Kraft pada tahun 1971. Kedua pasangan ini menuliskan cerita tentang Kawah Ijen sekaligus kehidupan para penambang belerang lewat Majalah Geo, Prancis. Lewat kisah mereka, para turis dan fotografer berbondong-bondong mendatangi kawasan wisata tersebut.

Daya tarik Kawah Ijen sendiri memang seolah menyihir para pengunjung. Bagaimana tidak? Pada pagi hari, wisatawan akan disuguhkan pemandangan sunrise yang menakjubkan. Cahaya matahari pagi yang menyinari kawah akan dipantulkan. Pantulan ini nantinya akan menghasilkan warna kemilau hijau toska di permukaan kawah sehingga akan menghipnotis siapapun yang mengunjungi wilayah tersebut.

Tak hanya pesona hijau tosca di siang hari, Kawah Ijen juga menyuguhkan pemandangan menarik apabila didatangi pada malam hari. Sebagai gunung berapi yang masih aktif, Kawah Ijen masih mengeluarkan lava. Berbeda dengan lava yang berwarna merah kekuningan seperti pada umumnya, lava yang dikeluarkan oleh Gunung Ijen berwarna biru. Hal inilah yang membuat daya tarik para turis untuk berkunjung ke sana.

Bukan hanya turis yang penasaran dengan fenomena ini, ahli geologi bahkan turut meneliti fenomena lava biru yang terjadi di Kawah Ijen tersebut. Menurut penelitian, lava biru ini disebabkan adanya tekanan gas belerang yang tinggi. Ketika gas belerang bertekanan tinggi terpapar lava kemudian membakar oksigen, maka warna api yang dihasilkan akan berwarna biru dengan suhu mencapai 600 derajat celcius.

Untuk menikmati lava biru Kawah Ijen, pengunjung bisa mendatangi kawasan ini pada saat tengah malam hingga menjelang matahari terbit. Dimulai dari pukul 00.00 WIB, para turis ini membutuhkan waktu mendaki selama dua jam dari gerbang utama. Selama perjalanan, suhu di sana bisa mencapai 10 bahkan sampai titik terendahnya yang mencapai 2 derajat celcius. Di perjalanan nanti, pengunjung juga akan menemui para penambang belerang yang tengah menjalankan aktivitasnya. Setelah sampai di sana, kalian akan menikmati suasana lava biru dan dilanjutkan suasana sunrise di pagi harinya.

Walaupun menyajikan pemandangan yang memukau, pengunjung juga harus harti-hati dengan air kawah di sana. Sebab, air belerang di Kawah Ijen memiliki volume air sekitar 200 juta meter kubik dengan panasnya yang mencapai 200 derajat celcius.

Selain itu, kawasan Ijen sendiri juga seringkali ditutup karena memiliki kandungan belerang yang tinggi. Kandungan belerang ini sangat berbahaya. Apabila pengunjung tidak kuat, maka bisa berdampak pada batuk, pusing, pingsan, hingga meninggal dunia. Para pengelola pun sudah menyiapkan masker khusus kepada para pengunjung apabila ingin menikmati kawasan ini. Saking tingginya kandungan belerang ini, kawasan Kawah Ijen juga bisa ditutup sewaktu-waktu walaupun pengunjung sudah sampai di lokasi.

Sumber: Telusuri Indonesia
Sejarah Kawasan Gunung Ijen
Dulunya, Pegunungan Ijen menjadi bagian dari Kerajaan Blambangan. Nama Blambangan sendiri menjadi terkenal karena sang adipati, Minakjinggo, menolak mengakui wilayahnya adalah bagian dari kekuasaan Majapahit. Penolakan ini mengakibatkan dua kerajaan tersebut untuk berperang. Lawan dari Minak Jinggo sendiri adalah seorang pemuda asal Majapahit bernama Darmawulan. Perang ini pun dimenangkan oleh Darmawulan dan wilayah Blambangan akhirnya dikuasai Majapahit. Kisah perang kedua tokoh ini juga tertulis dalam Candi Minakjinggo.

Nama Ijen juga pernah disebut ketika seorang pangeran dari Kerajaan Wilis, bergerilya melawan VOC pada tahun 1722. Ijen merupakan tempat yang paling ideal untuk persembunyian bagi para pemberontak. Tanahnya yang berkelok dan dipenuhi hutan lebat, menjadi wilayah yang ideal, bahkan juga terkesan angker.

Wilayah Ijen mulai tersentuh ketika seorang penguasa dari Belanda menyewakan tanahnya kepada seorang kapten asal China, Han Ki Ko. Kapten Han sendiri tinggal di Surabaya dan terkenal sangat kaya. Tanah yang disewakan ini juga termasuk wilayah Besuki, Panarukan, dan Probolinggo. Untuk menarik para pekerja di sekitar, penguasa kawasan ini membagikan beras gratis kepada para penduduk yang saat itu tengah kelaparan. Dari sanalah para pekerja asal Madura datang berbondong-bondong untuk menanam sayuran dan padi di kawasan tersebut.

Kemudian pada tahun 1813, para pekerja ini melakukan pemberontakan dengan pemimpinnya bernama Kiai Mas. Akibat pemberontakan ini, lahan di kawasan itu kosong dan hancur lebur. Barulah akhir abad ke-19, Belanda memaksa membuka kembali lahan itu untuk dijadikan perkebunan kopi dan karet. Didatangkanlah lagi ribuan pekerja asal Madura untuk mendiami kawasan tersebut.

Ekspansi orang-orang Madura inilah yang menyebabkan kawasan itu—Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi—seolah menjadi wilayah Madura kecil. Wilayah itu menjadi pusat pemukiman orang Madura. Mereka ini membawa adat, budaya, dan bahasa dari daerah asalnya.

Berjumpa dengan Para Penambang
Jika para pengunjung datang ke kawasan Kawah Ijen, mereka akan mendapatkan pemandangan berupa aktivitas dari para penambang belerang. Penambang ini berlalu-lalang menjajaki sekitar kawah dengan membawa beban belerang yang berat dan dimasukkan ke dalam karung.

Olahan belerang ini sendiri berasal dari lelehan belerang yang disalurkan melalui pipa yang berasal dari sumber gas vulkanik dengan kandungan sulfurnya. Gas yang dialirkan melalui pipa itu keluar dalam bentuk lelehan belerang yang berwarna kemerah-merahan. Kemudian, lelehan itu akan membeku dan berubah warna menjadi kuning. Bekuan inilah yang kemudian diambil oleh pekerja tambang.

Biasanya, para penambang belerang ini melakukan pekerjaannya dengan berjalan kaki. Kemudian menuruni kaldera sejauh tiga km untuk mengambil belerang. Itu bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat mereka masih harus menggali terlebih dulu menggunakan alat seadanya. Kemudian, batu-batu itu dipecah dan diletakkan ke dalam dua keranjang yang sama besarnya. Seorang penambang ini bisa memikul batu seberat 100 kg dengan risiko bau menyengat dari asap belerang.

Para penambang ini memikul batu itu menuju Pos Bundar. Di sana, mereka akan menimbang hasil tambang belerang yang sudah dibawa. Di sinilah para pengunjung bisa melihat perjuangan para penambang. Selesai membawa batu belerang dari gunung, kemudian dikemas lagi ke dalam karung untuk dibawa ke truk pengangkut. Di saat itu juga, mereka dipanggil satu per satu untuk menimbang hasil bawaannya, kemudian barulah dibayar hasil jerih payahnya.

Tiap satu kilogram bongkahan belerang yang dibawa para penambang dihargai sebesar Rp 330. Namun harganya bisa naik menjadi Rp 1.330 apabila dibawa lagi ke truk. Setiap penambang sendiri mampu membawa bongkahan itu sebanyak dua kali tiap harinya. Walaupun memiliki pekerjaan itu, para penambang ini masih bisa memberi keramahan kepada para pengunjung dengan menjawab berbagai pertanyaan yang diberikan. Mereka juga kerap kali berbaur dengan para wisatawan secara ramah dan santun.

*Artikel ini telah tayang di Majalah Airmagz edisi November 2019