Sumber: Wikipedia |
Raden Mas Tirto Adhi Suryo, ya mungkin
beberapa dari kita masih asing dengan nama ini. Bagi sebagian kalangan, Tirto
adalah salah satu nama yang berperan dalam sejarah Indonesia, terutama dalam
kalangan insan pers.
RM Tirto Adhi Soerjo (TAS) lahir
di Blora, Jawa Tengah, pada 1880. Waktu kecil, ia biasa akrab disapa Djokomono.
Putra bangsawan Jawa ini mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda kemudian
melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia (sekarang
Jakarta). Namun TAS tak menyelesaikan sekolah dokternya lantaran dia lebih
sibuk menulis di media massa.
Perjalanan nasib membawanya
pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung, TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan
Prijaji (1907), serta Putri
Hindia (1908). Medan
Prijaji beralamat di Jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung
Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK).
Medan
Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama. Ini
dikarenakan surat kabar tersebut
menggunakan Bahasa Melayu dan seluruh proses produksi dan penerbitannya
ditangani orang pribumi Indonesia asli. Menurut catatan Dr. Rinkes, masyarakat
meminati Medan Prijaji karena ada
salah satu rubrik yang isinya penyuluhan hukum gratis. Simpati pun datang melimpah dari masyarakat
hingga pada tahun ketiga tepatnya Rabu, 5 Oktober 1910, Medan
Prijaji berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan.
Tulisan-tulisan TAS yang begitu
berani langsung menuding muka orang. Tak ada bijakan kolonial yang dianggap
memberatkan rakyat luput dari penanya. Substansi beritanya bahkan dijadikan
bahan untuk propaganda masyarakat terhadap kebijakan kolonial Belanda, semacam
di daerah Banten, Rembang, Cilacap, dan Blora.
Salah satu kasus dari sekian
banyak tulisan di muat pada Medan
Prijaji No. 19-1909 mendapat dukungan 236 warga desa Bapangan Purworejo
yang pasang badan. Pada gilirannya tulisan ini memuat TAS dibuang selama dua
bulan di Lampung. Kasus ini kemudian mendapat perhatian pers Belanda.
Selain di bidang pers, TAS juga
aktif dalam pergerakan nasional. Dua tahun sebelum Budi Utomo lahir TAS telah
mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama bercorak modern,
berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca Melayu sebagai
bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Syarikat Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 yang membuat nama TAS semakin menonjol.
Kemudian TAS mendirikan Sarikat
Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S.
Tjokroaminoto.
Pada tahun 1909, TAS membongkar
skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun
terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang Pers 1906). Meskipun
TAS memiliki forum privilegiatum
(sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung,
selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun
1910, Medan Prijaji diubah menjadi
harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di
Jalan Naripan No 1 Bandung. Masa kejayaan Medan
Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap
menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang
dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh
menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami Raden Adjeng Kartini)
menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan di Halmahera
selama enam bulan.
Sekembali dari Ambon, pada
1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918.
Mula-mula dia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor
pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers
Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Pada tanggal 7 Desember 1918,
seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam
tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan
terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar kematiannya. Ia
benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan dididiknya untuk
maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian
terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto Adhi Soeryo, lambat
laun mengalun. Ia telah terbaring tenang.
Sebagaimana ditulis Pram dalam
Sang Pemula: “ Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu
mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai
alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia,
bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?”
Pramoedya dalam Sang Pemula
seolah ingin menyeru sekaligus menunjukkan kepada bangsa ini bahwa Indonesia
pernah punya seorang pejuang berpena tajam pembela kaum tertindas yang ditakuti
penjajah Belanda. Sebagaimana ditulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, tak
mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal
kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak
pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
Melalui sosok TAS, Pramoedya sesungguhnya
mengingatkan akan pentingnya keberanian dalam menulis. Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat
dan dari sejarah.
0 Comments