Sumber: The Sun |
2019 menjadi tahun terakhir bagi beberapa maskapai di dunia. Puluhan
maskapai dinyatakan bangkrut pada tahun ini. Alasannya beragam, mulai dari
utang, kekurangan pilot, hingga minimnya gairah penumpang. Walaupun rekam jejak
beberapa maskapai ini bisa dibilang cukup baik, kondisi pailit tetap tak dapat
dihindarkan.
September lalu, dunia penerbangan
dihebohkan dengan berita mengenai pailitnya salah satu maskapai. Korbannya
jatuh kepada Thomas Cook, maskapai penerbangan sekaligus perusahaan travel
terbesar asal Inggris. Akibatnya, 600 ribu wisatawan yang berlangganan Thomas
Cook di seluruh dunia—juga 150 ribu wisatawan asal Inggris—asal harus
dipulangkan. Sedangkan 22 ribu pekerja di seluruh dunia—9 ribu di antaranya
asal Inggris—terpaksa kehilangan pekerjaan.
Bangkrutnya perusahaan yang telah
berdiri sejak 1841 ini disinyalir karena beberapa faktor. Pertama, Thomas Cook
sendiri telah terlilit utang yang tinggi. Sebelumnya, perusahaan ini sudah mencapai
kesepakatan pinjaman sebesar £900 juta atau Rp15,7 triliun dari Perusahaan asal
China Fosun Grup untuk menyerahkan operasi turnya. Sedangkan bank kreditor
serta pemegang obligasi mendapatkan kewenangan untuk mendapatkan maskapai
penerbangannya.
Namun saat mereka mengadakan
pertemuan untuk menyetujui kesepakatan, ternyata nasib berkata lain.
Kesepakatan tak kunjung disetujui. Bos Thomas Cook pun menyampaikan permintaan
maaf dan menyatakan bahwa perusahaan ini telah bangkrut.
Penyebab lain yang menjadi faktor
pailit yakni adanya masalah di bidang geopolitik. Kerusuhan politik yang
terjadi di tempat wisata semacam Turki, gelombang panas yang berkepanjangan,
serta keputusan pelanggan menunda pemesanan tiket karena Brexit (keluarnya
Inggris dari Uni Eropa) turut mewarnai penyebab bangkrutnya Thomas Cook.
Meski begitu, kabar terbaru
menyatakan bahwa Thomas Cook akan dibeli oleh Hays Traval, agen perjalanan asal
Inggris. Mereka akan mengakuisisi 555 toko dan mempekerjakan kembali mantan
karyawan dari operasi ritel Thomas Cook. Sejauh ini, Hays Travel telah merekrut
421 mantan karyawan Thomas Cook dan juga membuat tawaran lain kepada para
pekerja tersebut.
Selain Thomas Cook, maskapai lain
yang juga bangkrut pada 2019 adalah Germania. Maskapai penerbangan yang bermarkas
di Berlin, Jerman, ini dinyatakan bangkrut pada Februari lalu. Penyebab
pailitnya terjadi karena perkembangan keuangan yang tak terduga, seperti
kenaikan harga bahan bakar, jatuhnya nilai euro terhadap dollar AS, dan
sejumlah layanan teknis untuk pengoperasian penerbangan.
Akibat dari pernyataan ini, para
wisatawan yang sudah memesan paket liburan diminta untuk menghubungi agen
perjalanan mereka untuk mengajukan pergantian penerbangan. Sayang, para
pelanggan yang sudah membeli tiket secara langsung ke Germania, tak mendapatkan
penggantian transportasi.
Maskapai California Pacific asal
AS juga dinyatakan bangkrut pada Februari lalu. Maskapai ini telah meluncurkan
aksi penerbangan perdananya pada 1 November 2018 silam. Desember 2018, mereka
menghentikan layanan penerbangan dikarenakan kekurangan pilot nasional. Namun
pada Januari 2019, mereka memberlakukan cuti kepada para pekerja tanpa tanggal
yang pasti. Barulah pada Februari, California Pacific dinyatakan pailit.
Maskapai asal Inggris yang juga
bangkrut pada tahun ini adalah Flybmi. Februari 2019, Flybmi mengumumkan bahwa
mereka menghentikan ratusan penerbangan yang berdampak pada telantarnya para
penumpang. Keputusan mendadak ini pun membuat para penumpang harus rela
mengganti rute penerbangan untuk bisa pulang kembali ke Inggris.
Faktor utama penyebab pailitnya
Flybmi dikarenakan Brexit. Akibatnya, harga bahan bakar turut naik pesat dan
perdagangan di Inggris menjadi tidak stabil. Sebelum diumumkan bangkrut, Flybmi
telah mengoperasikan penerbangan ke 25 kota di Eropa denga 17 unit pesawat.
Selain itu, mereka juga memiliki 376 staf dan pernah mencatat total 522 ribu
penumpang dalam setahun.
Sumber: Airplane |
Insel Air, maskapai asal Curacao,
juga dinyatakan bangkrut pada Februari 2019. Maskapai ini telah melayani penerbangan
di Curacao, Aruba, dan Bonaire selama 13 tahun lamanya. Bahkan pada empat tahun
lalu, Insel Air mencatat bahwa mereka telah melakukan penerbangan di lebih dari
20 tujuan dan mengangkut lebih dari dua juta penumpang tiap tahun. Penyebab
pailitnya maskapai ini dikarenakan adanya utang yang mencapai 165 juta Gulden
Antillean atau setara dengan 80 juta euro lebih.
Maskapai asal Korea Selatan, Air
Philip dinyatakan pailit pada 13 Maret 2019. Maskapai ini mulai beroperasi pada
Juni 2018 dan melayani penerbangan antara Seoul dan Gwangju. Desember 2018,
mereka mengumumkan akan menerbangkan penumpang ke wilayah Jepang dan Rusia.
Namun tiga bulan kemudian, maskapai ini menghentikan semua operasinya dan
menyatakan bangkrut.
Salah satu maskapai terbesar asal
India, Jet Airways, turut mengumumkan kekalahannya di industri penerbangan ini.
Padahal, maskapai ini sudah melayani penerbangan India sejak Mei 1993, baik itu
di rute domestik maupun internasional. Penyebab pailitnya maskapai ini
disebabkan lantaran kondisi ekonomi.
Sejak 2018 lalu, Jet Airways
menyumbang 20% penumpang dari total keseluruhan penerbangan di India. Namun
sejak kondisi ekonomi tengah bergejolak, mata uang India pun jatuh ke titik
terendahnya. Akibatnya, biaya kebutuhan bahan bakar penerbangan turut
membengkak.
Pihak Jet Airways juga menyatakan
bahwa pemerintah turut berperan dalam mengatasi kondisi ekonomi. Menurutnya,
mereka gagal dalam melaksanakan stabilitas dan berakhir pada krisis dari
tekanan global, terutama dalam mata uang. Walaupun pemerintah sendiri membantah
tuduhan itu dan menyatakan bahwa penyebab bangkrutnya maskapai ini dikarenakan
pengelolaan pihak perusahaan itu sendiri.
Akibat dari kondisi ini, sebanyak
16 ribu karyawan Jet Airways kehilangan pekerjaannya. Bahkan, ada puluhan karyawan
yang mengaku bahwa gaji mereka tidak dibayar selama empat bulan lamanya.
Maskapai asal Tajikistan yang
dikelola oleh pemerintah pusat, Tajik Air, turut menghentikan operasinya pada
Januari 2019 lalu. Masalah maskapai ini mulai datang ketika memasuki awal tahun
2019. Saat itu, mereka mengubah jadwal penerbangan karena dinilai tidak
menguntungkan. Walaupun begitu, hal ini tetap tidak menghindari Tajik Air dari
kondisi kebangkrutan.
Senada dengan Tajik Air, maskapai
asal Tajikistan lainnya, Asian Express, mengalami hal serupa. Asian Express
resmi menghentikan operasinya sejak Januari 2019 lalu. Kiprah maskapai ini
sudah didirikan sejak 2011 lalu dan telah menerbangkan pesawat Airbus 320-200
dan Avro RJ100.
Wow Air, maskpai asal Islandia
mengumumkan kebangkrutannya pada Maret 2019 lalu. Sebanyak 29 penerbangan
dibatalkan yang berdampak pada 2.700 orang pun telantar. Alasan utama
berhentinya maskapai ini dikarenakan kehabisan dana sejak berbulan-bulan
menjelang masa akhir. Selain itu, penurunan wisatawan yang datang ke Islandia
dan kenaikan bahan bakar juga menjadi pengaruh bangkrutnya perusahaan tersebut.
Setelah 32 tahun melayani
penerbangan, maskapai asal Kolombia, Aerolineas
de Antioquia/ADA pun menghentikan semua operasinya pada Maret 2019. Alasan
utama berhentinya maskapai ini dikarenakan kekurangan biaya operasional dan
turunnya jumlah penumpang. Perusahaan ini tercatat telah menyediakan layanan
penumpang dan kargo ke 20 tujuan di Kolombia.
Maskapai kecil asal Jamaika, Fly Jamaica Airways juga terpaksa bangkrut.
Di awal pengoperasiannya pada 2012 silam, mereka memulai aksinya dengan aset
satu pesawat. November 2018, satu-satunya pesawat yang dimiliki ini mengalami
kecelakaan dan mendarat darurat di wilayah Guyana. Dari situ, maskapai ini pun
kekurangan dana dan terpaksa tutup.
Dua maskapai Avianca di Amerika Selatan, Avianca Brazil dan Avianca
Argentina juga menutup operasinya. Avianca Brazil lebih dulu membatalkan seribu
penerbangan pada April 2019 lalu. Tak lama kemudian pada Juni 2019, Avianca
Argentina menyusul dan mengumumkan pailit.
Al-Naser Airlines, maskapai asal
Irak turut menghentikan operasinya pada 16 April 2019. Maskapai ini didirikan
sejak 2005 oleh Sheikh Hussein Al-Khawan dan beroperasi di Bagdad. Awal
operasinya ditujukan untuk militer AS di Irak dan baru memasuki sektor sipil
pada 2009 lewat penerbangan perdana menuju Kuwait.
*Artikel ini telah tayang di Majalah Airmagz edisi Desember 2019
0 Comments