Ilustrasi: zenit.org

Pers menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah usaha percetakan dan penerbitan, bisa juga usaha pengumpulan dan penyiaran berita. Pers menjadi corong untuk mengawasi kekuasaan. Pers sendiri juga berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pelaksanaannya, pers memang menjadi salah satu pekerjaan ekstrem. Berdasarkan pengalaman saya yang pernah bernaung di lembaga pers mahasiswa, para insan pers seolah-olah memikul tanggung jawab besar. Mereka dituntut untuk menyebarkan informasi yang berguna bagi para pembacanya. Namun, pekerjaan pers tentu tak semulus yang dibayangkan.

Sebagai orang yang pernah berkecimpung di pers mahasiswa, saya seringkali mendapat pandangan sebelah mata. Entah itu dari pihak mahasiswa, para pegawai, dosen, maupun birokrasi kampus. Sering kali, pemberitaan yang kami lakukan seolah-olah hanya dianggap media pembelajaran. Mereka masih belum mengerti, entah karena saya seorang mahasiswa, pemberitaan yang kami lakukan hanya sekadar dari hasil dialektika para aktivis mahasiswa.

Pernah suatu hari, saya dipanggil oleh orang birokrasi kampus. Mereka mempertanyakan kebenaran yang sudah kami terbitkan dalam media berbentuk cetak. Berbagai jurus pun dilakukan, “Saya dulu seorang wartawan! Saya mengerti tugas-tugas pers saat masih seumuran dengan kalian!” tegasnya. Namun teguran itu tetap tak membuat saya terkujur kaku. Saya masih meyakinkan mereka, bahwa kerja kami sebagai pers mahasiswa, sama halnya dengan kerja pers pada umumnya.

Namun apa daya, panggilan demi panggilan tetap dilakukan para petinggi kampus. Saya hanya menyayangkan, apakah kinerja kami di pers mahasiswa masih diragukan? Sewaktu pendidikan dasar, kami diajari bagaimana cara kerja pers, kode etik pers, hukum pers, teknik peliputan, teknik penulisan, bahkan sampai bahasa jurnalistik yang begitu ruwetnya. Saya akui memang, legalitas pers mahasiswa masih dipandang sebelah mata di mata hukum. Namun, kinerja kami juga sejalan dengan apa yang dilakukan oleh pers-pers mainstream di Indonesia.

Kami pun juga melakukan kunjungan di kantor berita media nasional. Kami belajar cara kerja mereka. Namun para birokrasi kampus ini masih tetap memandang kebenaran produk kami secara picik. Seolah-olah mereka tak terima dengan kritikan yang kami lontarkan lewat media cetak.

Dari sana, saya ingin mencoba bagaimana pola kerja pers sesungguhnya lewat magang di Kantor Kompas. Jujur saja, sewaktu saya di pers mahasiswa, ilmu yang dirasa memang kurang jika tak menerapkannya di media nasional yang sesungguhnya. Tak hanya itu, saya juga ingin menumbuhkan kembali bakat saya ketika bergulat di pers mahasiswa dulu. Sebab, sewaktu menjadi pengurus di sana, saya sudah sibuk mendidik adik-adik dan jarang turun kembali ke lapangan.

Saya juga sempat tertarik dengan kinerja media lewat media sosial. Pemikiran saya, bagaimana bisa mereka dengan cepat menyalurkan berita dan mengundang diskusi dalam jagat dunia maya. Apa hal yang dilakukan oleh para media itu sehingga mampu menarik pergulatan baru dalam media sosial.

Semoga ini menjadi sebuah pembelajaran baru bagi saya, sebelum terjun menuju dunia pergulatan yang sesungguhnya.