Sumber: tumbuhberbagidiridhoi.blogspot.com


Belakangan ini kampus kita tercinta, yaitu Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah mengalami fenomena terkait berbagai masalah di sekitar kampus. Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini, yang dimulai dari pemilihan Rektor Baru UIN Jakarta, sampai yang kemarin ramai dibahas di media sosial maupun di surat kabar tentang kebijakan Rektor Baru tersebut. Begitu juga dengan masalah-masalah lainnya yang menimpa sekitar Kampus UIN Jakarta.

Kamis, 26 Maret 2015, para peserta yang mengikuti taaruf untuk menjadi anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melakukan diskusi terkait beberapa masalah yang menimpa Kampus UIN Jakarta. Didampingi oleh beberapa mentor, para peserta terlihat sangat antusias untuk mengikuti acara diskusi tersebut. Dimulai ketika ada yang membahas tentang kebersihan toilet di Kampus I, ada peserta yang berasal dari Kampus II Fakultas Ilmu Sosial dan Imlu Politik (FISIP) mengeluhkan tentang kebersihan di dalam toilet, terutama toilet Student Center (SC) yang berada di Kampus I. Menurutnya toilet di sini sangat buruk kebersihannya. “Toilet disini sangat jorok, bau, terlihat sangat tidak terawat” tutur mahasiswa FISIP tersebut. Beliau mengatakan bahwa di Kampus II UIN Jakarta, sangat terlihat berbeda tentang kebersihan bila dibandingkan dengan kebersihan di Kampus II. “Jika Kami sedang melakukan makan bersama, Kami selalu membersihkan tempat yang Kami tempati sesudah makan. Berbeda dengan disini, sangat tidak terawat, kotor sekali.” keluhnya. Ia juga menmbahkan kalau sistem disini sangat buruk, “bahkan ketika saya ingin melakukan ibadah Sholat, kerannya pun mati. Tidak ada airnya.”

Ketika Mentor memberikan kesempatan untuk menanggapi keluhan dari mahasiswa tersebut, para mahasiswa dari Kampus I juga menanggapi “Tidak semua tempat di sini bisa dikatakan jorok, contohnya seperti di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK). Toilet disana kebersihannya lumayan.” ucap dari seorang Mahasiswi Fakultas Tarbiyah. Menurutnya keadaan di Kampus I jika dibandingkan dengan Kampus II terlihat dari jumlah Mahasiswa, “Kampus II itukan mahasiswanya sedikit, wajar saja jika Kampus II terlihat bersih. Karena jumlah yang sedikit itulah Mahasiswa di sana bisa diatur tentang masalah kebersihan Kampus. Berbeda dengan disini.”

Mahasiswa dari Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) juga turut memberikan komentar, “Iya tidak semua tempat disini bisa dbilang kotor, di Fakultas Saya, yaitu Fakultas Adab dan Humaniora telah menerapkan kebijakan GPS (Gerakan Pungut Sampah) yang dilakukan setiap hari Jumat. Oleh karena itu, silahkan Anda berkunjung ke sana.” Kenyataannya di Fakultas Adab sendiri, masih terlihat beberapa sudut tempat yang masih ada beberapa sampah seperti gelas bekas kopi yang masih berceceran.

Mentor pun turut menanggapi, “Iya memang di sini sangat terlihat kotor, dikarenakan tidak adanya korelasi antara Petugas Kebersihan Kampus dengan Mahasiswa itu sendiri. Petugas Kebersihan sudah melaksanakan tugasnya, tetapi masih ada saja Mahasiswa yang tetap mengotori tempat tersebut. Kesadaran akan menjaga kebersihan masih kurang.” Memang kenyataan berkata demikian, tidak adanya kesadaran dari Mahasiswa itu sendiri tentang merawat berbagai fasilitas yang diberikan oleh Kampus. Jika kesadaran akan kebersihan fasilitas dimiliki oleh Mahasiswa, tentunya tidak akan seperti ini. Fasilitas akan terlihat bersih, enak, dan nyaman untuk digunakan.

Selain membicarakan tentang kebersihan, para peserta juga membicarakan tentang hal lainnya. Hal tersebut yakni tentang masalah Organasasi. “Kekuatan dominasi Organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan.” tutur Mentor. Memang sebelum PEMIRA (Pemilihan Umum Raya) dilakukan, banyak persaingan antar Organisasi untuk menguasai jabatan sebagai Ketua BEM maupun HMJ. Organisasi itu pun juga melakukan beberapa “kampanye hitam atau biasa disebut black campaign”. Banyak dari anggota Organisasi tersebut saling menjelekkan lawan politiknya. Berbagai macam yel-yel, nyanyian mengejek, serta latar belakang negatif calon pemimpin yang akan menduduki jabatan diungkit kembali. Tidak hanya itu, bahkan beberapa orang juga melakukan kebijakan “money politic”  seperti memberikan berbagai macam “souvenir” untuk membuat calonnya menang dan menduduki jabatan. Bahkan juga terjadi perbuatan anarki untuk membuat calon yang didukung menang. Mengingat kembali beberapa fenoma tersebut, para peserta pun terpancing dengan pernyataan Mentor, “Di Fakultas Saya, FISIP, cukup terpengaruh kebijakan Organisasi. Contohnya BEM dan HMJ yang dikuasai oleh salah satu Organisasi yang mendapat jabatan untuk menduduki “kursi panas” tersebut. Salah satu  dari anggota Organisasi yang oposisi tidak akan mengikuti berbagai acara yang dilakukan oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa, yang sekarang diubah namanya menjadi DEMA-F, yaitu Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas) dan HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan).”


Mahasiswa lainnya pun ikut menambahkan, “Benar, memang seperti itu. Kalau terus-terusan seperti ini, Kampus tidak akan maju dikarenakan adanya politik pecah belah. Seharusnya jika BEM atau HMJ melakukan kebijakan sebaiknya para Mahasiswa harus mengikuti secara antusias, bukan karena kebijakan Organisasi. Mahasiswa pun akhrnya menjadi berpandangan Subyektif.” Mentor pun turut berkomentar, “Oleh karena itu, kebijakan untuk masuk LPM Institut tidak boleh mengkuti Organisasi Ekstra”. Memang kebijakan LPM Institut berkata demikian, “Kalian dilarang mengikuti Organisasi dikarenakan untuk membuat sikap yang netral sebagai seorang Jurnalis. Tidak membela apapun jika salah satu Organisasi dikritik oleh Kami.” Kebijakan ini sangatlah bagus dilakukan, karena akan membuat sikap yang objektif dan terbuka. Tidak anti kritik dan tidak Fanatis. Karena sikap Fanatis sangatlah berbahaya, yang mengakibatkan membuat Mahasiswa kehilangan pandangan Objektif dan sikap Kritisnya.