Sumber: kompas.com

Beberapa hari ini, media massa dihebohkan dengan kabar tentang keluarga yang menelantarkan anaknya di daerah Cibubur. Sebenarnya, kasus ini sudah dianggap biasa di Indonesia. Hanya saja, kasus ini sudah mencuat di media massa dan banyak dibahas oleh khalayak ramai.

Sebagai orangtua, harusnya merekalah yang berperan penting dalam mengasuh anak. Keluargalah yang menjadi sumber pendidikan sang anak sebelum terjun di masyarakat. Jika peran keluarga sudah salah dalam mendidik, bagaimana keadaan anak jika sudah besar nantinya?

Sebelum memiliki anak, keluarga yang baru menikah, (atau istilahnya pengantin baru) harus berpikir matang-matang untuk rencana ke depan nantinya. Jika umur sudah mencapai usia matang, masih harus berpikir untuk menikah atau tidak. Menikah itu tidak hanya persiapan umur, persiapan mental dan ekonomi juga harus dipikirkan.

Misalkan seorang lelaki sudah berusia 25 tahun, usia tersebut adalah usia yang ideal untuk menikah. Tetapi tolong dipikir kembali, benarkah usia yang menentukan keharusan untuk menikah? Jangan sekali-kali terpengaruh oleh omongan dari luar, misalnya dari orangtua dan masyarakat. Sekali lagi, pikirkan kembali!

Banyak orangtua yang sering menanyakan anaknya, “Kapan kamu nikah nak? Kasihan ibumu ini, ingin menggendong cucu baru.” Demikianlah masyarakat atau teman terdekat dari pihak yang bersangkutan, “Eh bro, kapan nih nikah? Malu sama umur lu bro. Udah keburu tua lu!”

Pengaruh orang terdekat seperti obrolan di atas memang terasa menyedihkan. Tetapi, masihkah kita terpengaruh oleh omongan itu? Apakah menikah harus melalui omongan? Bukan persiapan ekonomi dan mental?

Sebelum menikah, pikirkanlah kondisi kita, terutama kondisi ekonomi. Jika penghasilan masih belum mencukupi, jangan terburu-buru menikah. Apalagi untuk kaum lelaki, pikirkan kondisi kalian terlebih dahulu sebelum berbagi kebahagiaan dengan orang yang anda sayangi.

Kembali ke topik di atas, daripada kita terburu-buru ingin menikah dan memiliki anak, lebih baik kita kembali memikirkan kemapanan kita. Kondisi ekonomi yang cukup akan membuat kehidupan anak dan istri lebih baik.


Untuk para wanita, jangan mudah dibodohi dengan omongan lelaki, “Dik, aku cinta kamu, yuk kita nikah. Nanti anak kita jumlahnya lima yah, biar kaya kesebelasan sepakbola.” Padahal, lelaki tersebut hanya mencari nafkah di counter pulsa.