Sumber: bhatara.co.id |
Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Syarat
diakuinya negara terbagi menjadi tiga macam, yakni Rakyat, Wilayah, dan
pemerintah yang berdaulat. Pemerintah yang berdaulat dibagi menjadi tiga
sistem, yakni Monarki, Parlementer, dan Demokrasi. Kata terakhir adalah salah
satu yang akan saya bahas di tulisan ini.
Demokrasi berasal dari bahasa
Yunani kuno, demos dan kratos. Demos berarti
rakyat, Kratos berarti pemerintahan.
Jadi, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat. Thomas
Jefferson membagi pilar demokrasi menjadi empat macam. Salah satunya yakni
kebebasan berbicara dan berpendapat.
Sistem ini dipakai di beberapa
negara tertentu, salah satunya yakni Indonesia. Indonesia sendiri memiliki
sejarah panjang dalam perubahan sistem pemerintahan. Dulu, Indonesia pernah
menjadi negara monarki, parlemen, dan demokrasi. Demokrasi sendiri adalah
sistem yang dianut di Indonesia sampai saat ini.
Belakangan ini, sistem demokrasi
di Indonesia mendapat guncangan hebat. Itu dikarenakan pemerintah ingin
menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Joko Widodo (Jokowi), yang
merupakan Presiden Republik Indonesia, adalah orang yang mengajukan pernyataan
ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dilansir detik.com, Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang disodorkan Presiden
Jokowi ke DPR berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden
atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV
Ruang lingkup Penghinaan Presiden
diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264 yang berbunyi:
Setiap
orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan
maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Seperti yang kita tahu, pasal ini
telah dihapus pada 2006 lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut MK, pasal
itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah
suatu proses, pernyataan, pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau
penghinaan kepada presiden atau wakil presiden. Pasal ini juga berdampak pada
menurunnya daya kritis masyarakat terhadap kebijakan presiden.
Dilansir detik.com, MK tegas menyatakan Pasal Penghinaan Presiden/Wakil
Presiden bertentangan dengan konstitusi. Sebab Indonesia sebagai suatu negara
hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD
1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal seperti Pasal
134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137.
Ini bukanlah hal yang pertama
kalinya diajukan. Pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) juga pernah mengajukan pasal ini pada 2013 lalu. Namun, usulan
ini ditolak tegas oleh MK.
Jika pasal ini berhasil
dihidupkan, maka Indonesia mengalami cacat di dalam bidang hukum. Keputusan MK
sendiri bersifat final dan mengikat. Jika presiden mengajukan kembali pasal
ini, berarti presiden telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Bisa
dikatakan bahwa presiden tidak menghormati hukum yang ada di Indonesia.
Dikutip dari bbc.com,
Jokowi menyatakan bahwa penghidupan pasal ini bertujuan untuk melindungi
masyarakat yang mengkritik kepentingan umum. "Justru memproteksi, jadi
yang mengkritisi, memberikan pengawasan, ingin memberikan koreksi,
silakan," kata Jokowi. Ini
menimbulkan perbedaan tafsir kepada pemahaman masyarakat.
Jika memang benar demikian, pernyataan Jokowi
bisa dikatakan tepat. Sebab, kritik dan penghinaan adalah dua hal yang berbeda.
Kritik adalah tanggapan seseorang terhadap apa yang menurutnya tidak sesuai.
Terkadang, kritik sering disertai kecaman yang tegas. Namun, kritik pasti
diakhiri dengan solusi. Ini jelas berbeda dengan hinaan yang bertujuan
memperburuk citra seseorang tanpa solusi yang jelas.
Apa yang sering kita lihat di sosial media
terkait kritikkan terhadap Jokowi memang patut diapresiasi. Banyak orang-orang
yang menyebarkan hinaan terhadap Jokowi melalui gambar, yang disebut meme, merupakaan hinaan yang jelas
memalukan. Saya sendiri tidak habis pikir, manusia macam apa yang tega menghina
presidennya sendiri. Mending isinya
mendidik, lah ini?
Yang jelas, hinaan yang dilontarkan seperti itu
sangatlah tidak mendidik masyarakat. Hinaan yang dilancarkan oleh Jonru, Hafidz
Ary, bahkan Farhat Abbas sekalipun adalah komentar yang jelas tidak berguna.
Namun, orang-orang seperti itu selalu saja mendapat dukungan dari beberapa netizen. Jelas, sikap kebencian terhadap
presiden sangat masuk akal jika ditanggapi Jokowi melalui pasal ini.
Orang-orang yang seperti inilah yang harus sadar
akan etika dalam melancarkan kritik. Merekalah yang seharusnya bercermin kepada
diri mereka sendiri. Apa yang disampaikan mereka jangan ditelan bulat-bulat. Masyarakat seharusnya tidak
memberi mereka panggung dalam
penyampaian kritiknya!
Jika dilihat dari sejarahya, orang-orang macam
ini sudah pasti “menghilang”. Rezim orde baru yang “kejam” akan memenjarakan
mereka ke dalam hotel prodeo. Jangankan dipenjara, pulang dalam keadaan utuh saja
harus disyukuri.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi,
haruslah Indonesia menganut prinsip dalam kebebasan berpendapat. Tetapi, apa
yang kita sebut bebas tetap harus dikaji ulang. Kebebasan kita sendiri juga
dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jika kita tetap bertingkah sebagai “makhluk
yang sebebas-bebasnya”, lalu apa bedanya kita dengan binatang?
Sebagai manusia biasa, Jokowi juga seharusnya
menelah ulang usulan ini. MK telah menghapus usulan ini sebelumnya. Patuhilah
hukum yang berlaku. Lagipula, anda dipilih oleh rakyat. Janganlah berkelakuan
seperti rezim Orde Baru yang terkenal dengan anti kritik. Saya kira, rakyat
akan lebih bersimpati jika kebebasan berpendapat mereka tidak dikekang..
0 Comments