Sumber: humanrightsfirst.com |
Sampai saat ini siapa yang tidak kenal dengan sosok Munir, bahkan hingga akhir hanyatnya pun orang-orang mulai berspekulasi tentang teori konspirasi dibalik kematian Munir. Tentu saja kematian Munir ini sangat tidak disangka-sangka dan pastinya ada maksud tertentu. Tidak mungkin seseorang dibunuh tanpa alasan yang jelas. Alasan ini yang tidak diketahui oleh banyak orang, dan siapa yang mendalangi pembunuhan ini?
Ada banyak teori bermunculan terkait kasus ini. Namun, sampai saat ini
berita dan kasus mengenai aktifis HAM ini tidak ditangani dengan baik. Sebelum
itu, mari kita berkenalan dengan tokoh yang dikenal dengan penggemarnya dengan
tagar #MenolakLupa.
Munir atau yang bernama asli Munir
Said Thalib ini lahir di kota Malang 8 Desember 1965. Lelaki ini meninggal
dalam perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Dia meninggal
pada usia 38 tahun.
Sepanjang hidupnya, Munir bergelut
di bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan pada akhir usianya, Almarhum menjabat
sebagai Direktur Eksekutif lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia
Imparsial. Selama hidupnya atau tepatnya ketika berada di dewan Kontras,
Almarhum Munir berjuang mempertanyakan keberadaan para aktivis yang menghilang.
Faktor menghilangnya mereka yakni menjadi korban penculikan beberapa oknum
tertentu dengan motif tertentu pula.
Pada saat kejadian, Munir tengah melanjutkan studi tentang hukum humaniter
di Universitas Utrecht, Belanda. Saat itu pukul 21.30 WIB. Seluruh penumpang
pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam,
bergegas memasuki pesawat. Munir yang kala itu adalah penumpang kelas ekonomi
hendak masuk pintu pesawat sebelum akhirnya bertemu dengan Pollycarpus Mudihari
Priyanto. Pria yang akrab disapa Polly adalah seorang pilot Garuda. Pada saat
itu Pollycarpus menjadi extra crew.
Pollycarpus mengajak Munir untuk
mengobrol di kelas bisnis. Pada akhirnya, Munir pun pindah dari kelas ekonomi
menjadi kelas bisnis. Pemindahan kelas ini bersifat sementara, yakni hingga
pesawat mendarat kembali di Bandara Changi Singapura. Setelah minum kopi di
bandara tersebut, Almarhum Munir kemudian kembali ke tampat duduknya semula
yang berada di kelas ekonomi.
Di sanalah akhirnya Munir
menghembuskan nafasnya yang terakhir kalinya. Sebelumnya, Ia beberapa kali bolak-balik ke toilet dan sebelum
menapakkan kakinya di Amsterdam.
Teori konspirasi dibalik kematian
Munir kemudian bergulir dengan ditemukan senyawa arsenik dalam tubuhnya. Temuan
ini dikeluarkan oleh polisi Belanda dari hasil otopsi. Lalu, hasil otopsi ini juga
disampaikan pada polisi Indonesia. Saat itu belum diketahui siapa yang meracuni
Munir. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa saat itu banyak yang ingin membunuh
aktivis HAM ini.
Pada 2005, tepatnya 20 Desember,
Pollycarpus divonis bersalah selama 14 tahun dengan tuduhan memberikan arsenik
dalam minuman Munir. Dia dituduh karena menjadi tersangka yang meracuni Munir. Selain
Pollycarpus, ada juga orang yang didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap
Munir, yaitu Mayjen (purn) Muchdi Pr pada 19 Juni 2008. namun pada 31 Desember
2008 Muchdi dibebaskan dengan berbagai alasan.
Berbagai alasan ditemukan terkait kematian Munir. Pertama, ada kaitannya
dengan kegigihan Munir mengenai kejahatan tim Mawar Kopassus dengan peristiwa
penculikan dan juga pembuhuhan para aktivis. Kedua, ada yang menduga bahwa BIN (Badan
Intellijen Nasional) terlibat dalam teori konspirasi ini. Karena ada indikasi
bahwa Pollycarpus mendapatkan panggilan telepon sesaat sebelum berangkat. Namun
dalam pengadilan, tidak dijelaskan siapa orang yang menelepon Pollycarpus
tersebut.
Yang terakhir, yakni tuduhan kepada beberapa pihak yang merupakan
tersangka. Kita tahu bahwa Munir sangat gigih dengan Hak Asasi Manusia. Tidak
menutup kemungkinan bahwa “musuh-musuh” Munir pasti sangat mendukung dan
menutupi kasus ini.
Apapun teori terkait pembunuhan Munir, sampai sekarang kasus ini belum
menemukan titik terang. Berbagai pihak telah mengupayakan untuk mengungkap
siapa yang menjadi dalangnya. Juga alasan mengapa munir harus dibunuh. Tetapi,
semua ini hanya menjadi penyelidikkan yang sia-sia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) pernah mengusahakan membentuk sebuah tim penyelidik mengenai siapa yang
membunuh Munir. Anggota DPR RI juga membentuk tim untuk mengusut
tentang kematian Munir. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai hal
tersebut.
Selain itu, beberapa pihak lainnya
juga berusaha untuk menemukan titik terang dibalik kasus ini. Pihak Polri
yang seharusnya bertanggung jawab, belum bisa memberikan keterangan secara
jelas. Pihak Hak Asasi Manusia yang digawangi oleh istri Munir yang bernama
Suciwati, juga mengalami kebuntuan.
Dilansir dari berpolitik.com, Pengamat Intelijen
Suripto yakin, Munir ''dieksekusi'' oleh sebuah operasi intelijen yang
berpengalaman. Banyaknya kejanggalan yang ditemukan, menjadi indikator ke arah
sana. Karenanya, operasi kontra intelijen menjadi kunci terbongkarnya misteri
kematian pejuang HAM Munir.
Argumen Suripto cukup beralasan.
Kenyataan itu bisa dilihat dari hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) pertama
--yang diketuai oleh Brigjen Polisi Marsudhi Hanafi-- yang berhasil
menyimpulkan bahwa Munir dieksekusi dengan menggunakan cara-cara layaknya
sebuah operasi intelijen, dalam penerbangan dari Jakarta menuju Singapura,
dengan menggunakan racun arsenik.
Prestasi nyata TPF pertama memang
layak diacungi jempol. Pasalnya tim ini dianggap mampu menguak kejanggalan demi
kejanggalan yang banyak ditemukan. Dimana kejanggalan itu menjadi indikator
kuat keterlibatan beberapa tokoh Badan Intelijen Negara (BIN) dalam ''operasi
eksekusi Munir''.
Kejanggalan paling mudah dilihat
saat Pollycarpus Budihari Priyanto --pilot Garuda-- beberapa kali menghubungi
nomor telepon Deputi V BIN Muchdi Purwopranjono. Bahkan tidak cuma nomor
telepon genggam Muchdi, dalam data print out yang dikeluarkan operator telepon
PT Telkomsel, terbukti Polly juga menghubungi kantor Muchdi.
Sayangnya, tepat 3 Oktober 2006,
dalam rapat musyawarah majelis hakim yang terdiri atas Hakim Ketua Iskandar
Kamil, dua Hakim Anggota Atja Sondjaya dan Artidjo Alkostar, Mahkamah Agung
dalam putusan kasasinya menyatakan Pollycarpus tidak terbukti dokumen palsu dan
divonis dua tahun penjara. Sejak itu, bisa dibilang telah terjadi anti klimaks
pada perkembangan kasus kematian Munir.
Hingga saat ini, beberapa tuduhan
terkait pembunuhan Munir masih menjadi misteri. Sebenarnya tidak hanya kasus
Munir saja yang perlu diselidiki. Peristiwa Gerakan 30 September juga harus
diteliti kembali. Ini tidak hanya merugikan berbagai pihak tertentu, tetapi
juga mencoreng sejarah Indonesia.
Apapun yang terjadi, kita tidak
boleh melupakan masa lalu. Sebab, masa lalu merupakan jembatan ke masa depan.
Pelajaran yang didapat dari sana tidak boleh diulangi lagi. Jadi, tagar
#MenolakLupa tetap harus dikumandangkan!
0 Comments