Sumber: vivanews.co.id |
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beberapa pulau. Bahkan,
tiga pulau di Indonesia masuk dalam urutan sepuluh pulau terbesar di dunia. Kedua
pulau itu yakni Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Negara yang terletak di Asia
Tenggara ini juga memiliki kekayaan alam yang sangat banyak. Faktor inilah yang
menyebabkan banyaknya investor asing menanamkan modalnya di Indonesia.
Investor inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Dalang dibalik semua ini adalah Presiden Soeharto. Ia juga biasa
disebut sebaga Bapak Pembangunan. Ini bertentangan dengan ideologi Soekarno
yang mempunyai slogan “berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri.
Di tengah maraknya investor asing, Indonesia tetap memiliki
sumber ekonomi kreatif. Pengusaha Indonesia tidak kalah hebat dengan pengusaha
yang berasal dari luar negeri. Persaingan untuk menguasai ekonomi di Indonesia
semakin ketat. Nyatanya, penduduk Indonesia yang bersifat konsumtif tetap
menambah daya tarik investor yang menanamkan modalnya.
Namun, kegiatan ekonomi Indonesia yang sedang berkembang ini
tetap memiliki risiko. Berdirinya pabrik-pabrik menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan. Limbah yang ditimbulkan menyebabkan tidak seimbangnya keadaan alam
di Indonesia. Belum lagi efek globalisasi yang merusak lapisan ozon sehingga
berdampak pada naiknya suhu bumi yang semakin panas.
Tak hanya itu, pencemaran alam ini menyebabkan rusaknya
daerah yang dihuni oleh warga sekitarnya. Warga yang bertempat tinggal di
daerah itu akan kehilangan pemanfaatan sumber daya. Salah satunya yakni air dan
udara bersih. Tercemarnya sumber daya yang penting itu akan menimbulkan
kemarahan dari warga terhadap investor.
Fenomena yang belakangan ini sering dibahas yakni perlawanan
warga Rembang kepada PT. Semen Indonesia. Tak hanya warga sekitar Rembang,
beberapa aliansi yang terdiri dari mahasiswa juga melakukan orasi terkait
kebijakan ini. Mereka protes karena kondisi lingkungan yang rusak akan
menimbulkan kekacauan di daerah itu.
Kebanyakan, warga sekitar sana berprofesi sebagai petani dan
peternak. Mereka berpendapat bahwa lahan yang dipakai untuk pembangunan pabrik
menyebabkan hilangnya lahan mereka. Mata pencaharian mereka akan terancam
hilang. Dengan demikian, pembangunan ini telah dianggap melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM).
Pembangunan lahan ini juga menyebabkan sebagian besar
wilayah Rembang hilang. Berdasarkan hasil penelitian Semarang Caver Association
(SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), di kawasan itu
ada 49 goa dan 109 mata air yang menjadi sumber air bagi kehidupan masyarakat
dan pertanian mereka di 14 kecamatan, di Kabupaten Rembang.
Selain
Rembang, pembangunan semen juga dilakukan di daerah Sukabumi, Jawa Barat pada
Mei 2015 lalu. Sama halnya dengan Rembang, penolakan keras juga dilakukan
terkait kebijakan ini. Penolakkan dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya
yakni Wacana Lingkungan Hidup (WALHI).
Dikutip
dari suaratambang.com¸ kehadiran kawasan pabrik semen pada areal seluas 85
hektar di Kecamatan Gunungguruh tersebut bisa mengeluarkan limbah berbagai
jenis dan beracun. Pada saat masih pembangunan dampaknya sudah terasa oleh
masyarakat sekitar, seperti kualitas udara yang semakin buruk karena debu dari
pembangunan. Bahkan jika turun hujan, masyarakat siap-siap terkena imbas banjir
karena pemukimannya berada di sekitar itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh warga Rembang dan Sukabumi
memang patut diapresiasi. Pasalnya, beberapa pihak dirugikan dalam kebijakan
ini. Kerugian yang dialami tidak hanya dialami oleh warga sekitar daerah
tersebut, namun juga berdampak pada Negara Indonesia, bahkan Dunia.
Tak hanya kerusakan lingkungan, kekerasan fisik yang dialami
warga juga harus mendapat perhatian khusus. Banyaknya penolakkan warga
berdampak pada kekerasan yang dilakukan oleh aparat-aparat pihak investor.
Dilansir www.walhi.or.id,
pada 3 Mei 2015 tindakkan kriminalisasi telah dilakukan aparat gabungan
Kepolisian Resort Kota Kendari dan Satuan Brimob terhadap warga Desa Polara,
Desa Tonggodito, Desa Waturai, dan Desa Kekea di Pesisir Pulau Wawonii,
Kendari, Sulawesi Tenggara. Konflik agraria ini juga melibatkan perusahaan
tambang PT. Derawan Berjaya Mining (DBM).
PT DBM adalah Perusahaan tambang krom yang merupakan bagian
dari Grup IGAWARA Industrial Service and
Trading PTE LTD. Konflik keduanya telah berlangsung sejak 2008 dan hingga
kini belum ada penyelesaiannya.
Berdasarkan temuan sementara KPA Wilayah Sulawesi Tenggara,
WALHI Sulawesi Tenggara dan beberapa organisasi yang menangani laporan warga
empat desa di Pesisir Pulau Wawoni, sedikitnya ada 14 orang, termasuk ibu-ibu
petani yang menjadi korban kekerasan dengan cara brutal. Adapun kekerasannya
berupa penembakan, penganiayaan, dan pelecehan seksual yang dilakukan pada
sekitar pukul 04.00 WITA dini hari (3/5).
Pulau Wawoni terletak di Kendari Sulawesi Tenggara. Pulau
Wawoni tergolong pulau kecil dengan luas 867,58 km2. Pulau yang kecil tersebut
sesungguhnys tidak diprioritaskan bagi pertambangan, sehingga melanggar Pasal
35 huruf i dan UU No.27/2007 tentang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang
melarang penambangan pasir dan mineral pada wilayah yang secara teknis,
ekologis, sosial dan budaya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan
serta merugikan masyarakat.
Kerusakan alam dan kekerasan fisik yang ditimbulkan akibat
pembangunan tambang dinilai menimbulkan dampak yang besar. Secara kasarnya,
lebih banyak kerugian daripada manfaatnya. Selain itu, kekerasan yang berujung
pelanggaran HAM ini haruslah mendapat pantauan dari pemerintah.
Perizinan terkait pembangunan bahan tambang juga harus
mendapat pengawasan ketat. Ini akan berguna karena akan meminimalisir kerusakan
lingkungan yang ada. Jadi, masyarakat tidak hanya mendapat kerugian di bidang
lingkungan. Lagipula, dampak ekonomi juga harus ditinjau kembali agar
masyarakat bisa dinikmati bersama.
0 Comments