Sumber: solopos.com |
Lika-liku politik di Indonesia
terus menerus menjadi sorotan di media massa. Pemerintah menghadapi satu agenda
besar politik pada 2015, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
serentak di 204 daerah di Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkirakan
akan menggelar pemungutan suara pada November atau Desember nanti.
Beberapa alasan mendasari
pemerintah menggelar pilkada serentak di delapan provinsi dan 196
kabupaten/kota ini, salah satunya pertimbangan efisiensi anggaran. Dengan
menggelar pilkada secara bersamaan, diperkirakan anggaran negara bisa dihemat
hingga 50%. Selama lebih dua tahun pemerintah dan DPR mematangkan rencana
menggelar pilkada serentak ini.
Walaupun perkiraan untuk hemat
memang kemungkinan terjadi, tapi bayangkan jika ada calon yang siap memimpin
daerah itu. Bagaimana kualitas mereka? Siapkah mereka bersaing secara sehat
dengan lawan politiknya?
Setiap calon wakil rakyat, calon
kepala daerah, dan apalagi calon presiden bukanlah menghitung besarnya
pengorbanan yang akan diberikan untuk rakyat. Mereka semua lebih memilih
menghitung seberapa besar biaya yang akan dikeluarkan saat kampanye. Tidak
hanya itu, uang yang akan dikorupsi untuk mengembalikan biaya politik juga
perlu diperhitungkan.
Fenomena itu sungguh telah
merusak tatanan demokrasi modern. Ini terbukti dengan banyaknya wakil rakyat
dan kepala daerah yang dihukum akibat tindakan korupsi. Ini adalah salah satu
kelemahan mindset orang-orang di
Indonesia yang secara umum berpikir pragmatis.
Dilansir metrotvnews.com, biaya pemilihan kepala daerah di Indonesia
memerlukan dana mencapai Rp23,180 triliun. Seorang calon gubernur mengeluarkan
dana rata-rata Rp25 miliar dan pengeluaran seorang calon bupati/wali kota
berkisar Rp10 miliar. Belum lagi pemilihan capres dan cawapres nantinya.
Seorang capres setidaknya
membutuhkan dana berkisar Rp7 triliun untuk bisa menggaet 70 juta suara rakyat
Indonesia. Dengan demikian, total dana yang keluarkan sebagai biaya politik
selama lima tahun mencapai Rp190,488 triliun.
Dari data-data di atas, biaya
politik yang sangat besar itu sangatlah berpengaruh pada pilkada serentak
nanti. Politik biaya tinggi hanya akan melahirkan orang-orang dengan kekuatan
finansial yang besar yang akan terpilih. Di manakah letak hukum demokrasi yang
selalu dibela kaum Sekuler-Humanis itu?
Eksistensialisme pada calon-calon
pemimpin daerah itu juga ditentukan oleh sikap partai politik (parpol).
Kebijakan parpol dalam menyalonkan pimpinan daerah ini pastilah dilihat dari
aspek finansial. Bisa dikatakan, parpol adalah Tuhan politik dalam
penyelenggaraan Pilkada serentak ini. Secara kasarnya, “siapa yang banyak uang,
dialah yang menang!”
Penjabaran di atas adalah
persaingan secara internal di dalam partpol itu sendiri. Bagaimanakah
persaingan di eksternal? Bagaimana persaingan di luar parpol, atau parpol yang
sudah menjadi musuh bebuyutan? Ini akan menimbulkan apapun caranya agar
kemenangan bisa diraih.
Selain lewat parpol, pilkada serentak juga bisa
melalui jalur independen. Namun, jalur independen juga bukan solusi untuk
melawan calon kepala daerah yang berasal dari partai politik. Kita tahu, di
Indonesia sendiri beberapa daerahnya dikuasai oleh partai politik. Di Jawa
Barat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai yang kuat. Belum lagi
partai-partai besar lainnya seperti Golongan Karya (Golkar), PDIP, dan beberapa
partai lainnya.
Biaya yang sangat besar dan lawan politik yang
tangguh merupakan sorotan untuk calon kepala daerah. Pengorbanan demi menjadi
seorang politikus seperti peribahasa “bagai telur di ujung tanduk”. Harta,
bahkan nyawa bisa menjadi taruhannya. Maka tak bisa dipungkiri, jumlah calon
kepala daerah yang mengajukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbilang minim.
Tak jarang, ini bisa menimbulkan minimnya calon
pemimpin yang akan mengajukan dirinya ke KPU. Di sejumlah daerah justru hanya
satu pasangan calon yang mendaftar, seperti di Kabupaten Asahan Sumatera Utara,
Kabupaten Serang Banten, Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat, Kota Surabaya, Kabupaten
Blitar dan Pacitan di Jawa Timur, Purbalingga di Jawa Tengah, Minahasa Selatan
di Sulawesi Utara, TTU di NTT, Mataram di NTB, dan kota Samarinda.
Namun, patut dibanggakan karena pilkada serentak
memunculkan banyak calon yang mendaftar. Kota Pematangsiantar memecahkan rekor
sebagai daerah dengan calon kepala daerah terbanyak. Ada 10 pasangan calon
yakni enam dari pasangan independen, dan empat pasangan calon dari gabungan
partai politik. Selain itu Sumatera Utara juga merupakan daerah terbanyak di Indonesia
yang menggelar Pilkada serentak, yakni diikuti 23 kabupaten/kota.
Ada hal menarik dari berbagai kasus pada Pilkada
serentak 2015, yakni satu sisi ada daerah yang jumlah pesertanya banyak. Pada
sisi lain hanya satu pasangan calon yang mendaftar dan didukung oleh mayoritas
partai politik. Memang ada masa perpanjangan yang diberikan KPU, namun
bagaimana nanti jika tidak ada lagi pasangan calon yang mendaftar atau dengan
kata lain hanya satu pasangan calon sebagai perserta pilkada.
KPU juga harus mengeluarkan kebijakan dengan
persoalan ini, sehingga roda pemerintahan dan demokrasi berjalan dengan baik.
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi minimnya pencalonan. Apakah karena tidak
ada kader partai, atau hal lain. Karena ada calon potensial tidak berani mencalonkan
diri disebabkan ketidakmampuan “menyewa perahu”. Tidak dipungkiri praktik mahar
sewa perahu tidak terbantahkan walaupun ada partai politik tidak menerapkannya.
Persoalan ini juga harus menjadi perhatian
masyarakat. Sebagai pemilih cerdas tidak hanya terfokus kepada calon untuk
dipilih, tetapi partai politik pendukung yang menerapkan sistem “sewa perahu”.
Karena “mahar politik” merupakan bibit penyakit yang justru akan memunculkan
tindak pidana korupsi. Berharap Pilkada serentak 2015 melahirkan kepala daerah
yang bersih dari korupsi dan amanah kepada rakyat.
Saya sendiri setuju jika diadakannya Pilkada
serentak. Sudah saya bahas sebelumnya terkait efektifnya pemakaian dana. Namun
di sisi lain, peraturan yang menyangkut pilkada ini harus diteliti lebih
mendalam oleh KPU. Karena, itu bisa melemahkan sistem demokrasi di Indonesia.
Partai politik bukanlah Tuhan! Partai politik hanyalah nabi, yakni mempermudah
jalan untuk mencari eksistensialisme manusia.
0 Comments