Sumber: ceostars.net |
Jumat, 17 Juni 2015, saat itu umat Islam sedang
menyelenggarakan hari kemenangan setelah menjalani bulan Ramadhan. Seluruh umat
Islam serentak merayakan Solat Ied agar kemenangan di hari fitri menjadi “afdol”.
Kegiatan ini sudah merupakan kewajiban, terutama di Indonesia, selama
bertahun-tahun.
Namun, situasi ini berbeda saat kita melihat Tolikara.
Daerah yang berada di bagian timur Indonesia ini mengalami kemalangan yang luar
biasa. Moment yang seharusnya mereka gunakan untuk ibadah seakan-akan pupus di
depan mata. Musholla yang mereka pakai untuk beribadah nyatanya musnah dibakar
oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.
Tragedi pembakaran musholla di Tolikara ini menjadi trending topic saat itu. Mulai dari
Presiden sampai orang biasa pun berkomentar untuk masalah ini. Bagaimana bisa
semua orang bersikap skeptis untuk hal yang dianggap sebagai konflik agama
seperti konflik di Tolikara itu. Sebagai masyarakat yang “pancasilais”, saya
sendiri pun turut menyoroti apa yang terjadi di sana.
Seiring berjalannya globalisasi dan kecanggihan teknologi,
media massa menjadi hal yang penting terhadap umat manusia. Begitu juga dalam
halnya tragedi Tolikara. Peranan media yang besar itu memudahkan para pembaca
dalam menemukan informasi terkait berita Tolikara. Namun, media massa juga bisa
memengaruhi pemikiran pembaca dalam informasi yang disampaikannya.
Beberapa media massa seperti KOMPAS, TEMPO, REPUBLIKA, adalah beberapa media yang menyebarkan
informasi terkait Tragedi Tolikara pada Idul Fitri tersebut. Media-media ini
menurut saya adalah media yang netral dalam memberitakan informasi Tolikara.
Walaupun tak dapat dipungkiri juga mereka menyebarkan berita yang sesuai dengan
informasi yang kenyataannya berbeda dengan di lapangan.
Namun, media massa lain yang juga menjadi salah satu media
yang menumbuhkan sikap kebencian dan intoleran. Saya ambil contoh seperti pkspiyungan, ar-rahmah, hidayatullah,
dan beberapa media lainnya yang berlatarbelakang “islam radikal”. Dikatakan
islam rdikal karena mereka menyerukan jihad
fi sabilillah kepada umat non-muslim. Ini sangat berbeda dengan ideologi
negara Indonesia, yakni Pancasila.
Dikutip dari arrahmahnews.com,
“Dugaan sementara dari hasil diskusi kami (tokoh Islam, Kristen, Pemerintah
Daerah, Muspida) adalah upaya membuat suasana kacau lalu kemudian menjadi
alasan untuk organisasi yang sekarang berkonsentrasi untuk melepaskan Papua
dari Indonesia menyatakan bahwa selama diurusi oleh Indonesia, Papua tidak
aman. Masyarakat resah. Kehidupan dan kerukunan beragama kacau. Lalu kemudian
mereka meminta perlindungan negara yang mendukung kemerdekaan Papua dari
Indonesia seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan lainnya.”
“Dan perhatikan
sekarang, bukankah dengan pernyataan ini semakin terbuka bahwa tragedi
pembakaran masjid, toko dan rumah warga Muslim di Tolikara BUKAN hanya karena
intoleransi agama. Melainkan ADA SKENARIO BESAR di sebaliknya.”
Kutipan di atas merupakan salah satu ajakkan kepada pembaca
untuk menyalahkan negara Asing. Jika ditelaah lagi, masyrakat di luar papua
yang membaca ini akan mendiskriminasi warga papua yang ada di sana. Ini akan
menimbulkan sikap kebencian antar penduduk Indonesia. Politik divide at impera yang sudah dihapuskan
susah payah oleh Soekarno dan kawan-kawan kembali terulang melalui media ini
Contoh lain saya kutip dari pkspiyungan.org, “Untuk itu, sangat urgent menurutnya dilakukan
negara agar segera membekukan Organisasi Gereja Injili di Indonesia (GIDI),
membekukan rekeningnya, kemudian melakukan penangkapan terhadap orang-orang
yang terlibat langsung atau tidak langsung terhadap pembakaran Masjid dan Ruko
di Tolikara.”
“Melalui pres rilis kepada media, juru bicara Komite Ummat
untuk Tolikara ini mendesak kepolisian agar orang-orang yang menandatangani
Surat Edaran GIDI yang berisi larangan bagi umat Islam berhari raya dan
larangan berjilbab yakni Nayus Wenda dan Marthen Jingga, harus segera
ditetapkan sebagai tersangka dan penting kiranya segera ditangkap.”
Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa media pkspiyungan adalah salah satu media yang
memelopori konflik Suku, Agama, Ras (SARA) terkait Tragedi Tolikara. Media ini
sendiri memberikan solusi untuk membekukan GIDI di Indonesia. Artinya, media
ini mejadi provokator konflik Agama di Tolikara.
Kesimpulan lain, media ini juga menyerukan jihad ke pada
kaum non-muslim. Apabila menelaah arti jihad sendiri, jihad merupakan berjuang
di jalan Allah SWT. Menurut imam mazhab: “Jihad adalah fardhu ‘ain JIKA
musuh menyerang negerimu.”
Negerimu, itu adalah kata yang harus digarisbawahi. Jika
yang menyerang warga negara Indonesia sendiri, perlukah kita berjihad? Walaupun
mereke berbeda agama sekalipun, mereka tetaplah rakyat Indonesia. Jadikan
pancasila sebagi ideologi negara yang harus diterapkan, jangan sekedar hanya
omong kosong belaka!
Ingat, negara Indonesia merupakan negara yang memilki
sejarah yang panjang. Kemerdekaan yang diraih oelh Founding Father kita bukanlah sekedar omong kosong belaka!
Pertumpahan darah yang terjadi selama berabad-abad melawan pihak penjajah
jangan disia-siakan. Provokasi media-media yang menyerukan sistem khilafah haruslah diberantas! Seperti
kutipan Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya!”
Jika dilihat dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ), media ini
sangat menyimpang dari hal yang semestinya menjadi dasar hukum Jurnalisme.
Salah satu pasal 8 dari KEJ berbunyi, “Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”
Dari kutipan KEJ di atas,
media-media tersebut telah melanggar apa yang seharusnya menjadi pedoman dalam
Jurnalistik. tempo hari, pemerintah mengusulkan media-media radikal perlu
diblokir. Saya setuju dengan saran ini supaya generasi muda bangsa Indonesia
tidak melanjutkan pemikiran yang sama seperti mereka.
0 Comments