Sumber: dream.co.id

Kemiskinan merupakan salah satu masalah ekonomi yang sudah asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Masalah seperti kesehatan sangat berpengaruh terhadap bidang ini. Ekonomi masyarakat yang lemah membuat masyaralat sangat sulit untuk mendapatkan kesehatan yang layak.

Oleh karenanya, BPJS menjadi salah satu faktor yang memudahkan jaminan kesehatan kepada masyarakat luas. BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

Menurut UU no. 24 tahun 2011 tentang BPJS pasal 7 ayat (1) dan Ayat (2), pasal 9 ayat (1). Badan Penyeleggara jaminan social kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah badan hukum public yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) Bulan di Indonesia.

Landasan Hukum BPJS Kesehatan 
  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52

Namun akhir-akhir ini, BPJS sedang ramai dibahas di beberapa media massa. Pembahasan BPJS bukan dalam pengertian menyangkut kegunaan kepada masyarakat luas, tetapi karena fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dilansir kompas.com, menurut MUI, penyelenggaraan BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar, (ketidakjelasan), maisir (memiliki unsur pertaruhan), dan riba. Fatwa ini diputuskan dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah. MUI pun menyarankan pemerintah untuk membentuk BPJS yang syariah.

Sementara itu, saat ditanya mengenai usulan MUI agar pemerintah membentuk BPJS Syariah, Bambang pun memberikan sinyal bahwa pemerintah tidak akan memenuhi permintaan tersebut. "Itu hanya masalah pengertian saja (apa yang dimaksud dengan syariah dan bukan syariah)," jawab Bambang singkat.

Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa BPJS Kesehatan tak sesuai syariah Islam. Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin mengatakan, fatwa ini mewajibkan pemerintah membentuk BPJS Kesehatan Syariah. Menurut dia, hal ini diperlukan untuk mengakomodasi masyarakat yang ingin mendapatkan jaminan sosial dengan konsep aturan syariah Islam.

Ma'ruf menekankan, pelaksanaan BPJS Kesehatan harus menghindari unsur gharar, maisir dan riba. Sebagai informasi, menurut bahasa, gharar adalah khida' atau penipuan. Definisi dari gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita, dan akibat yang paling muncul adalah yang paling kita takuti atau tidak kehendaki.

Maisir secara harafiah diartikan sebagai memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Sedangkan riba, secara terminologi adalah kelebihan dan tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).

Menurut analisa MUI di atas, gharar yang diartikan MUI diartikan sebagai bantuan yang tidak dilihat. Jadi, bantuan yang berasal dari orang lain haruslah dapat dilihat juga kepada si penerima. Padahal, di dalam ayat yang sudah diajarkan guru Agama, bantuan haruslah ikhlas lillahi ta’ala.

Maisir, menurut MUI, adalah perolehan sesuatu tanpa kerja keras. Ini dimaksud dengan jaminan kesehatan yang seharusnya diperoleh dari bekerja dengan giat. Tidak pandang bulu apakah masyarakat itu miskin atau tidak, yang penting mereka haruslah bekerja secara giat untuk memperoleh kesehatan yang layak. Jika masyarakat miskin dan tidak dapat mencukupi biaya kesehatannya, lebih baik mati saja. Mungkin itu maksud MUI.

Lalu muncul riba. Riba memang tidak sesuai dengan syariat Islam. Banyak lintah darat yang mengambil keuntungan dari Riba. Jika riba muncul, pemilik modal akan mengambil keuntungan dari rakyat kecil. Sungguh mulia gagasan MUI ini.

Mungkin MUI ingin menciptakan masyarakat kecil untuk bekerja secara giat. Tidak malas bekerja dengan hanya mengandalkan BPJS sebagai jaminan kesehatan. Dengan itu, MUI seperti mengaminkan sama rata dalam keadaan ekonomi. Jika tujuan MUI benar-benar seperti itu, saya sangat setuju dengan fatwanya.

Andaikata solusi dari MUI ingin mengajukan BPJS secara syariah, saya pun sangat setuju. Seperti yang sudah-sudah, asuransi dan bank sudah menjadi bagian dari syariah yang disarankan oleh MUI. Dengan demikian, masyrakat tidak perlu risau dengan dana yang haram karena MUI sudah men”syariat”kan beberapa lembaga ini.

Gagasan MUI untuk melabelkan cap halal kepada BPJS juga merupakan bukti bahwa MUI sudah bekerja sangat baik. Dia seperti menjalankan tugas untuk mengecap “halal” kepada kebijakan-kebijakan yang patut dipertanyakan. Mungkin, setelah BPJS dihalalkan, MUI akan mendapat imbalan dari pihak BPJS. Menghalalkan kebijakan membutuhkan uang bukan?

Fatwa ini bahkan sempat menghebohkan ketua MUI-nya sendiri, Din Syamsuddin. Dia sendiri mempertanyakan fatwa yang dilancarkan oleh anak buahnya. Kita bisa lihat kualitas internal dari MUI itu sendiri sampai-sampai ketuanya mempertanyakan kebijakan tersebut.

Jika dilihat dari beberapa pernyataan di atas, seharusnya MUI lebih baik merevisi fatwa mereka tentang BPJS. Andai dicermati, BPJS sama saja dengan sistem pajak yang juga menghasilkan denda. Tetapi, pajak tidak mendapat fatwa haram seperti halnya dengan BPJS.


Seandainya solusi dari MUI sendiri menginginkan BPJS sesuai dengan syariat Islam, berarti masyarakat Indonesia juga harus beragama Islam. Sistem pemerintahan yang dijalankan sekarang juga haruslah menjadi Islami, yakni khilafah. Menurut saya, fatwa MUI tidak sesuai jika solusinya adalah menegakkan BPJS syariah. MUI harus merevisi fatwa tersebut dengan keadaan sosial masyarakat yang dominan sangat membutuhkan BPJS.