Judul: Ini dan Itu Indonesia: Pandangan Seorang Jerman
Penulis: Berthold Damshäuser
Penerbit: Komodo Books
Tahun: 2015
Tebal: 223 halaman
Kerancuan bahasa masih menjadi perdebatan panjang di
Indonesia. Ambiguitas menjadi faktor utama.
Sebagian kalangan masyarakat Indonesia percaya bahwa bahasa
Indonesia adalah salah satu bahasa yang sulit dipelajari. Tak dapat dipungkiri,
bahasa Indonesia banyak memunculkan polemik dalam memahami suatu kata. Bahkan,
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga menimbulkan sebuah perdebatan.
Pembahasan ketaksaan Pancasila berawal dari sebuah diskusi
antar dosen dan mahasiswa dalam kelas bahasa Indonesia di Universitas Bonn,
Jerman. Berthold Damshäuser selaku dosen bahasa Indonesia membukasebuah diskusi
terbuka di dalam kelasnya. Saat membahas Pancasila, banyak mahasiswanya yang
bingungkarena ambiguitas kata.
Sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi
awal mula perdebatan. Mahasiswa menganggap imbuhan kata “ke-an” dalam
“ketuhanan” adalah sebuah kekeliruan. Berpegang Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), ketuhanan berarti sifat yang berhubungan dengan Tuhan. Timbulah
pertanyaan, “Mengapa harus ketuhanan?” Alangkah baiknya “ketuhanan” diganti
“Tuhan”.
Masalah kedua muncul saat “ketuhanan” dikaitkan dengan “maha
esa”. Lagi-lagi, mahasiswa kembali mempertanyakan semantika kalimat tersebut.
Esa berarti satu, tak bisa dibandingkan. Penambahan kata “maha” membuat diskusi
semakin pelik karena di situ terdapat makna yang hiperbolis.
Tak hanya sila pertama yang dijadikan bahan pelajaran, sila
keempat dalam Pancasila juga mendapat respons kritis dari kalangan mahasiswa.
Sila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, menimbulkan rancu semantika dalamkata
“kerakyatan”.
Dalam hal ini, para mahasiswa menganggap penggunaan “ke-an”
menyimpang dari makna sebenarnya. Menurut KBBI, “kerakyatan” berarti segala
sesuatu yang mengenai rakyat; demokrasi; kewarganegaraan. Imbuhan ”ke-an”
kembali menjadi persoalan di kalangan mahasiswa. Namun, Berthold berdalih,
Pancasila memiliki makna tersirat dan multitafsir.
Dalam diskusi selanjunya, mereka juga mengupas terkait
potensi bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia. Sebagai dosen, Berthold mengajak
mahasiswanya agar optimis terhadap adidaya bahasa Indonesia.Tetapi, usaha
Berthold tak mendapat respons positif. Sebaliknya, mahasiswa malah kembali
menantang sang dosen dengan argumen-argumen kritis-rasionalis.
Mahasiswa berdalih, bahasa dunia sebagai bahasa global digunakan
untuk berdiplomasi, berdagang, dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Dalam
penggunaan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih miskin kosakata. Banyak kata
serapan Indonesia dari bahasa asing yang menjadi percakapan sehari-hari. Sebab,
pengaruh imperalisme sangat kuat dalam penyerapan bahasa Indonesia.
Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga lebih menyukai kata
serapan dari bahasa asing ketimbang bahasa lokal. Kasus seperti ini kebanyakan
terjadi di kalangan politisi dan akademisi. Kedua golongan tersebut memakai
istilah asing sewaktu percakapannya sehari-hari. Akibatnya, gagasan yang
seharusnya dipahami masyarakat malah berubah menjadi jurang terjal dalam
penggunaan bahasa.
Lagipula, masyarakat Indonesia juga belum peka terhadap
budaya tulisan. Mereka menjabarkan, kebanyakan budaya-budaya Indonesia yang
dikenal dunia adalah budaya lisan. Contohnya adalah tarian, wayang, batik.
Budaya tulis-menulis di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat minim.
Di lain pihak, perkembangan sastra Indonesia juga masih
terbilang sedikit. Kebanyakan pegiat sastra Indonesia belum memperkenalkan
ciptaannya kepada masyarakat global. Karya sastra berupa puisi, prosa, cerpen,
dan novel masih ditulis dengan bahasa lokal. Apabila karya tersebut
diterjemahkan ke bahasa global, Jerman misalnya, kebudayaan tulisan berupa
sastra kemungkinan besar dilirik masyarakat dunia.
Buku karangan Berthold Damshäuser yang berjudul Ini dan Itu
Indonesia berusaha mengkaji ketaksaan dalam bahasa Indonesia. Ia mengajak
pembaca untuk melek terhadap ambiguitas bahasa Indonesia yang ada di dalam
penggunaan lisan maupun tulisan.
Selain itu, Berthold juga menjabarkan tentang perkembangan
sastra Indonesia di mata dunia. Menurutnya, peranan penerjemah sangat penting
dalam pengenalan budaya literasi Indonesia. Ia pun berani berpendapat bahwa
penerjemah sastra hampir sama dengan penyair yang menciptakan sebuah karya,
walaupun mereka hanya menerjemahkan sebuah karya dari sang penyair itu sendiri.
Penulisannya yang bersifat kritis-ironis bisa mengecoh pembaca.
Mereka tak akan tahu bahwa diskusi antara dosen dan mahasiswanya adalah diskusi
fiktif. Ia berani memosisikan dirinya sebagai dosen yang mati-matian membela
argumen kritis dari mahasiswa. Bagi orang yang membaca buku ini, mereka hanya
bisa tersenyum manis sekaligus miris dalam meratapi ketaksaan bahasa Indonesia.
Meski sastra Indonesia mesti dipahami secara tersirat,
Berthold tetap memuji perkembangan sastra Indonesia di depan masyarakat dunia.
Ia mengaku itu sebuah kekayaan intelektual yang sekaligus memerlukan kekayaan
imajinasi pada siapapun yang membaca karya sastra Indonesia. Karenanya, karya
penyair Indonesia tak bisa dilihat sebelah mata.
*Tulisan ini juga dimuat di Website LPM Institut UIN Jakarta
0 Comments