Beberapa sivitas akademika mengeluhkan tidak adanya manuskrip di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengadaan manuskrip bukanlah prioritas utama.

Perkenalan Rizqal Fadilla dengan manuskrip dimulai saat ia mempelajari mata kuliah (matkul) Filologi di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) UIN Jakarta. Kala itu, ia tengah duduk di semester tiga. Tak kurang sekali dalam seminggu ia rutin mengkaji Filologi dalam perkuliahannya.

Bukan manuskrip ataupun naskah kuno, buku fotokopian-lah yang menjadi pedoman Rizqal mempelajari Filologi. Di kelas pula, ia bersama rekannya mengupas teori dan metode yang terdapat dalam buku tersebut. Hal itu dilakukan Rizqal demi mendalami Filologi sebelum mengkajinya dalam manuskrip.

Terlebih saat tiba Ujian Tengah Semester, dosen Filologi menugaskan Rizqal untuk meneliti sebuah manuskrip. Saat itu, ia sempat diberikan tugas meneliti manuskrip yang membahas tata letak kota Yogyakarta. Untuk memenuhi tugasnya, tak jarang ia mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

“Selain memakan waktu, juga memakan biaya. Mahal loh jika kita memfotokopi arsip di ANRI maupun Perpusnas,” keluhnya ketika ditemui Instiut di Basement Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Senin (10/11). Mahasiswa yang sekarang menjalani perkuliahan di semester tujuh ini menilai, jikalau Pusat Perpustakaan (PP) UIN Jakarta memiliki koleksi manuskrip, atau replikanya, pasti akan sangat membantu mahasiswa ataupun dosen yang membutuhkan manuskrip.

Serupa dengan Rizqal, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (BSA) FAH Ade Seilawati Putri juga turut mempelajari manuskrip. Hanya saja ia memakai manuskrip sebagai objek matkul Kodikologi. Pada semester lima ini, tak kurang satu kali dalam seminggu ia belajar Kodikologi dalam perkuliahannya.

Mahasiswi yang akrab disapa Putri ini menjelaskan, persamaan antara Filologi dengan Kodokilogi terletak pada obyek kajiannya, yakni manuskrip. Akan tetapi, Filologi fokus membahas kandungan manuskrip. Sedangkan Kodikologi lebih pada kajian luarnya, semisal umur naskah, kertas, dan jenis tulisan.

Dalam perkuliahan Kodikologi, Putri hanya mempelajari manuskrip melalui foto yang ditampilkan lewat proyektor. Sayangnya ketika foto diperbesar, ia kecewa lantaran foto justru kian sukar dilihat. Baginya, metode pembelajaran seperti ini tidaklah efektif bagi mahasiswa. “Lebih baik belajar lewat internet ketimbang tak paham sama sekali,” tegasnya, Kamis (20/10).

Menanggapi demikian, Dosen Filologi SKI Tati Hartimah menuturkan, metode pengajaran Filologi dilakukan secara bertahap. Awalnya, mahasiswa belajar teori. Setelah itu, barulah ia menugaskan mahasiswa meneliti manuskrip. Bukan cuma itu, demi menambah pemahaman Filologi, ia pun kerap mengajak mahasiswa berkunjung ke Perpusnas dan ANRI. “Saya sendiri tak memiliki koleksi manuskrip pribadi. Sebab, belajar Filologi tanpa teori adalah mustahil,” imbuhnya, Kamis (20/10).

Dosen yang baru saja menyelesaikan program doktornya ini menambahkan, tahun Ini merupakan kali kedua ia menjadi dosen Filologi di FAH. Walau tak memiliki latar belakang manuskrip, ia optimis bisa mengajarkan manuskrip bagi mahasiswa, terutama yang berbahasa Melayu dan Sunda.

Lain halnya dengan Dosen Fakultas Ushuluddin Wiwi Siti Sajaroh, ia mengeluhkan nihilnya manuskrip di UIN Jakarta membuat Matkul Tasawuf Nusantara yang ia ajarkan belumlah maksimal. Materi ajarnya yang konsen pada ajaran tokoh Tasawuf mengharuskan manuskrip menjadi rujukan utama. “Ini kendalanya, kampus ini belum punya manuskrip, Baiknya UIN Jakarta memiliki lembaga pengelolanya tersendiri.” ungkapnya, Sabtu (22/10).

Wiwi pun menyadari, walau matkul yang ia ajarkan tidak khusus mengkaji manuskrip. Namun, bila ada manuskrip maka akan sangat mempermudah proses pembelajaran. Ia  pun mencari solusi lain dengan menggunakan sumber sekunder, semisal mengkaji ulang hasil penelitian orang lain. Dengan demikian, mahasiswa dapat menjadikan itu sebagai salah satu referensi pembelajaran.

Ihwal tidak adanya manuskrip di UIN Jakarta. Koordinator Layanan Teknis Pusat Perpustakaan (PP) Siti Maryam menjelaskan, PP bisa saja menyediakan koleksi manuskrip. Akan tetapi, hanya segelintir orang saja yang membutuhkan sumber tersebut. “Kita lebih mengalokasikan anggaran ke koleksi yang dipakai semua orang,” jelasnya, Jumat (21/10).

Maryam mengatakan, sejauh ini infrastruktur menjadi kendala utama dalam pengadaan manuskrip. Manuskrip sendri, tambah ia, memerlukan perawatan ekstra, seperti rak, ruangan khusus, dan suhu ruangan yang stabil. “Buku saja banyak yang rusak, bagaimana mau merawat manuskrip,” keluhnya.

Menurut Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta Oman Fathurahman, manuskrip erat hubungannya dengan Ilmu Humaniora semacam Sejarah, Linguistik, Sastra, dan Budaya. Namun bila diperhatikan lebih saksama, naskah kuno dapat pula dipakai dalam matkul di Fakultas Syariah dan Hukum dan Fakultas Ushuluddin. “Sejauh kajiannya terdapat dalam manuskrip, siapa saja bisa menggunakan sumber tersebut,” jelasnya, Rabu (12/10).

Apa itu Manuskrip?
Oman yang juga seaku Anggota International Advisory Panel dalam The Endagered Archives Programme (EAP) di The British Library ini memaparkan, manuskrip sering juga disebut naskah kuno tulisan tangan. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, lanjut ia, naskah kuno tulisan tangan berusia minimal 50 tahun dan memuat konten sejarah, pendidikan, agama, dan kebudayaan, maka itu dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya.

Lebih lanjut, Oman menambahkan, secara substansif manuskrip merupakan wadah buat orang dahulu untuk mengabadikan aktivitas dan pengetahuannya ke dalam tulisan. Bila dikaitkan dengan konteks sekarang, fungsi manuskrip mirip laiknya buku di zaman modern.

*Tulisan ini juga dimuat di Website LPM Institut UIN Jakarta