Sejarah adalah indikasi faktual, sedangkan sastra adalah indikasi fiktif. Sebagai fakta, sejarah harus diuji kebenarannya. Sehingga, sejarah dan sastra sulit dipadukan menjadi sebuah karya.

Hal itu disampaikan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK), Jamal D. Rahman dalam diskusi buku yang bertajuk Seteru I Guru. Acara ini diselenggarakan Lembaga Layanan Kebahasaan Insia yang bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan dan beberapa Dosen PBSI, di Aula Bustami Abdul Gani, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Jumat (22/5).

Jamal menambahkan, selalu ada pertentangan dalam fakta dan fiksi yang ditulis dalam novel sejarah. Penulisan novel sejarah tidak bisa dibilang fiktif. Meskipun ditulis dalam karya sastra, sejarah tetap harus sesuai dengan realita..

Menurut Jamal, penulis novel sejarah harus mengembangkan imajinasinya. “Ketika sejarah ditulis dalam novel, penulis bisa menambahkan, mengurangi, bahkan membalikkan fakta. Tetapi, jangan dijadikan dasar pengetahuan,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, Jamal pun turut menceritakan isi buku Seteru I Guru. Novel sejarah yang ditulis oleh Haris Priyatna berisikan tiga sahabat, yakni Soekarno, Muso dan Kartosoewirjo yang sama-sama berguru pada Tjokroaminoto. Setelah lulus, mereka berpisah karena perbedaan ideologi. Karya ini juga menjelaskan bagaimana sebuah bangsa merdeka harus dibangun dengan darah dan air mata.

Menurut penulis, Haris Priyatna mengatakan,tujuan penulisan karya ini menyampaikan kisah sejarah secara memukau. “Cerita semakin menarik saat pergulatan tiga tokoh tersebut yang memiliki ideologi berbeda,” pungkasnya.

Sebagai ketua pelaksana, Rosidah menyatakan, acara ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). “Kisah Guru Bangsa Tjokroaminoto dan tiga muridnya mengingatkan kita tentang sejarah pergerakan nasional Indonesia. Tetapi, dikemas dalam bentuk karya sastra,” ucapnya.

Ia juga menerangkan, persiapan acara cukup sulit karena bertepatan dengan ulang tahun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peminjaman tempat memakan waktu tiga hari karena lokasi-lokasi yang berada di luar fakultas sudah dipakai oleh beberapa pihak lainnya.


Salah satu peserta acara diskusi, Tri Raharjo mengaku,tak terlalu terkesan mengikuti acara ini. Ia menilai, acara tersebut tampak biasa. “Menurut saya, acara ini terlihat standar karena saya tidak berminat di bidang sastra,” ujar Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam FAH.

*Tulisan ini juga dimuat di Website LPM Institut UIN Jakarta