Sumber: Internet



Sempat dijuluki anti sumbangan, Mustolih Siraj tetap teguh melawan para pihak komersial. Gugat menggugat pun dilakukan demi membela kepentingan rakyat.

Ditemui di Klinik Bantuan Hukum, Mustolih Siradj tengah duduk sembari memegang handphone. Pria yang juga Koordinator Klinik Bantuan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini langsung bergegas meletakkan handpone di meja kerjanya. Perbincangan kemudian dimulai ketika mempertanyakan kasus tuntutan yang pernah Ia layangkan pada Alfamart.

Sebelumnya, tak pernah terpikirkan oleh seorang Mustholih jika permintaannya akan dibalas Alfamart lewat meja hijau. Perlawanannya mendapatkan transparansi donasi konsumen Alfamart menjadi pengalaman yang membanggakan Mustolih. Terlebih, ia berhadapan sendiri melawan 14 pengacara yang salah satunya tokoh kondang Yusril Ihza Mahendra.

Tuntutan dimulai ketika rasa penasaran Mustolih dari kebiasaannya berbelanja kebutuhan sehari-hari. Saat tengah melakukan pembayaran, Ia menaruh curiga karena uang sisa kembalian dijadikan sumbangan oleh pihak Alfamart. Terlebih, jumlah uangnya sebesar Rp100 hingga Rp400 tak ditulis dalam struk belanja. “Saat saya mencoba bertanya, kasir Alfamart malah menanyakan apa tujuan saya. Padahal kan itu hak konsumen,” kenangnya, Selasa (9/5).

Dari pengalaman itu, pada 4 November 2015 lalu, Mustolih melayangkan surat permohonan data donasi konsumen Alfamart kepada PT. Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Namun pihak bersangkutan malah menolak untuk memberikan tanggapan yang diajukan Mustolih. Ia pun kembali melayangkan permohanan sengketa ini kepada Komisi Informasi Pusat (KIP). KIP mengabulkan permintaan Mustolih dan mewajibkan Alfamart untuk membuka transparansi donasi konsumen.

Bukannya memberi data, Alfamart malah menuntut Mustolih dengan alasan dana ini adalah milik Alfamart. Mereka pun membawa 14 pengacara demi menyelesaikan permasalahan tersebut. Sidang keterbukaan informasi ini dilalui Mustolih selama lima kali terhitung dari 2016 hingga sekarang.

Walau menuntut secara individu, Mustolih tak sendiri dalam menghadapi pihak Alfamart. Ia dibantu dengan beberapa kerabatnya yang sama-sama berlatar hukum. Dukungan terus berdatangan saat Ia menceritakan gugatannya lewat status Facebook. Pihak Pengurus Besar Nahdatul Ulama melalui Ketua Umum Said Aqil Siradj pun turut mengajak masyarakat untuk berada di pihak Mustolih.

Sebelumnya, Mustolih juga pernah menggugat lima pengelola amil zakat pada 2015 silam, yaitu Badan Amal Zakat Nasional (BAZNAS), Al-Azhar Peduli Ummat, Aksi Cepat Tanggap, Portal Infaq, dan PPPA Darul Quran. Kasusnya hampir sama seperti Alfamart, lembaga ini tak memiliki transparansi soal kejelasan dana zakat. Terlebih, empat lembaga amil zakat selain BAZNAS tak mempunyai izin untuk mengadakan program sumbangan dana dari Kementerian Agama Republik Indonesia.

Selama kurang lebih delapan jam, Mustolih menghadapi lima lembaga itu di persidangan KIP secara bergiliran. Namun, tuntutan Mustolih berhasil diterima KIP dan akhirnya mereka membuka data mengenai sumbangan zakat dari masyarakat. Tak hanya itu, pihak zakat ini juga mulai mengurus izin akibat gugatan Mustolih.

Tak hanya sengketa informasi publik, Mustolih juga pernah menggugat Kompas di 2015 lalu. Saat itu, ia tengah membeli koran Kompas berjumlah tujuh eksemplar dengan harga Rp28 ribu. Ketika membaca, Ia merasa ada yang kurang nyaman karena adanya iklan yang menutupi halaman pertama koran. Berita yang harusnya didapat Mustolih malah terletak di halaman kedua setelah iklan.

Dosen yang mengajar di FSH UIN Jakarta ini pun mengadukan keluhannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta. Ia berdalih, iklan di koran itu mengganggu haknya sebagai kenyamanan konsumen. BPSK pun menerima tuntutan Mustolih dan menyuruh Kompas untuk membayar ganti rugi sebesar Rp28 ribu.

Gugatan yang dilakukan pria asal Brebes ini bukan tanpa alasan. Mustolih berdalih bahwa hal itu bertujuan untuk mendidik kepedulian masyarakat sebagai konsumen. Menurutnya, masyarakat sekarang tak tahu menahu haknya sebagai pembeli. Darinya, masyarakat mulai kritis terhadap peran para produsen. Ia membuktikan ini lewat riset dari hasil perbincangan teman-temannya.

Selama Mustolih menggugat, Ia kerap kali mempertanyakan manfaat kegiatan yang Ia lakukan. Teman-temannya seringkali memperingati Mustolih agar tak terlalu ngotot melakukan gugat-menggugat. “Buat apa sih melakukan itu, kaya enggak ada kerjaan saja,” ucapnya sembari menirukan gaya bicara teman-temannya.

Akibat terlalu sering menggugat, Mustolih sempat dijuluki anti sumbangan. Ia berdalih, gugatan itu dilakukannya agar para lembaga ritel memiliki kejelasan atas apa yang mereka lakukan. “Jika mereka tidak ada masalah, ya teruskan saja gerakan donasi itu. Kalau takut, itu justru malah menimbulkan kecurigaan di pihak konsumen,” imbuhnya.

*Tulisan ini telah dimuat di Tabloid INSTITUT edisi Mei 2017