Sumber: Internet |
Perbedaaan pemahaman Islam tak seharusnya dipermasalahkan. Keharmonisan antar masyarakatlah yang menjadi prioritas.
Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya
terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan etnis. Penduduk Indonesia
sendiri mayoritas beragama Islam. Sensus penduduk 2010 mencatat, setidaknya
207,2 juta masyarakat Indonesia berkeyakinan Islam. Oleh karenanya, pemahaman
akan Islam menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia diramaikan
dengan gagasan pemerintahan yang berlandaskan Islam atau yang terkenal dengan
sebutan khilafah. Ide ini muncul saat
masa transisi pemerintahan Indonesia pada 1998. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi pelopor dalam penyampaian
gagasan tersebut sekaligus menolak sistem demokrasi di Indonesia.
Sistem khilafah
ini ada sejak lahirnya kitab Al-Hakam
al-Sulthaniyyah karangan Penasihat Hukum Dinasti Abbasiyah Abu Hasan Ali
al-Mawardi. Ia menganggap bahwa khilafah merupakan
sistem politik dari Tuhan yang bertujuan menegakkan pondasi agama dan
kemaslahatan umat. Menurut al-Mawardi, pemimpin dalam khilafah harus berasal dari bangsa Arab sekaligus kalangan Quraisy.
Khilafah
ini kemudian dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Al-Siyasah al-Syar’iyyah. Menurutnya,
sistem ini bertujuan untuk menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar (menganjurkan hal baik dan mencegah hal buruk). Namun, ia sama sekali tak menekankan
kewajiban mendirikan khilafah.
Namun beberapa pemikir Islam di Indonesia
menentang gagasan Khilafah, salah
satunya Edi AH Iyubenu. Dalam esainya berjudul Pancasila itu Sangat Islami, Edi mengatakan bahwa Pancasila sebagai
landasan Indonesia sudah sesuai dengan Islam. Secara substansif, ia percaya
bahwa Pancasila sudah menganut amar ma’ruf
nahi munkar. Edi berpendapat, pembahasan khilafah sudah selesai sejak awal pembentukan Indonesia.
Esai Edi lainnya yang berjudul Berhala-Berhala Wacana juga mengkritik
ide penerapan khilafah. Dalam tulisannya, ia menganggap gagasan itu sebagai
wacana yang rentan menimbulkan konflik sosial. Sebab, Indonesia sudah punya
landasan ideologi Pancasila yang hingga saat ini masih relevan. Terlebih,
Indonesia merupakan negara plural yang tak semua masyarakatnya menganut agama
Islam. Edi menyimpulkan, wacana seperti itu harus dihancurkan layaknya
berhala-berhala Raja Namrud.
Kumpulan esai Edi di atas kemudian dibukukan
dengan judul Berhala-Berhala Wacana:
Gagasan Kontekstualisasi “Sakralitas Agama” secara Produktif Kreatif. Dalam
bukunya, Edi membahas beberapa hal dalam Islam yang menjadi perbincangan
masyarakat Indonesia. Ia menganalisis ide itu dengan pandangan sejarah,
teologi, dan sosial.
Edi juga membahas perdebatan masyarakat
terkait ucapan selamat natal. Sosial media seperti facebook dan twitter menjadi
objek Edi dalam menganalisis hal tersebut. Menurutnya, tak ada yang salah jika
umat Islam mengucapkan selamat natal kepada kaum non-muslim. Ia beranggapan
bahwa keimanan tak bisa luntur hanya karena ingin menghargai kaum non-Islam
dengan mengatakan selamat natal.
Sebagai contoh, Edi membandingkan ucapan
selamat natal dengan selamat Idul Fitri. Menurutnya, ini adalah hal yang biasa
mengingat masyarkat Indonesia memiliki perbedaan agama yang harus saling
menghargai. Begitu pun dengan
mengucapkan selamat menikah dalam acara pernikahan yang merupakan etika sosial dalam bermasyarakat dan
tidak ada hubungannya dengan keimanan.
Buku berisi 224 halaman ini mengulas keritik
Edi tentang pemahaman masyarakat terkait Islam. Ia memperkuat argumentasinya
dengan melakukan pendekatan sosial, sejarah, dan teologi. Ia mengajak para
pembaca agar tak membahas masalah Islam dari sekadar tafsiran, tapi juga harus
membahas asal-usul dalam ayat-ayat Alquran.
Tulisan yang santai mempermudah pembaca dalam
memahami apa yang disampaikan Edi. Kalimat dalam tulisannya yang agak satir
bisa memengaruhi emosi para pembaca. Namun, buku ini sangat dianjurkan kepada
khalayak yang ingin mempelajari Islam secara terbuka demi memahami keberagaman
yang ada di Indonesia.
*Tulisan ini telah dimuat di Tabloid INSTITUT edisi April 2017
0 Comments