Budaya merokok sudah menjadi kebiasaan wajib bagi sebagian orang. Jika tak ngudud, aktivitas para perokok bagai sayur tanpa garam. Ya, hambar. Setiap selesai menjalani rutinitas, tak lupa mereka mengeluarkan sebatang rokok dari dalam sakunya. Mereka juga bisa merokok dengan berbagai pendamping yang pas, baik itu rekan sejawat hingga segelas kopi yang masih hangat.
Jika perokok ditemani dengan kopi, maka itu sudah waktunya para perokok memikirkan nasib. Penatnya beraktivitas memang menjadi sebuah alasan perokok untuk bersantai. Namun, ada juga perokok yang tak doyan dengan suasana puitis macam itu. Ya, mereka pun memilih merokok bersama dengan sobat karibnya. Tentu tak lupa dengan secangkir kopi.
Namanya orang, semua pasti memiliki kepala yang berbeda. Sama halnya dengan ketertarikan rasa. Para perokok tentunya punya lirikan khusus terhadap suatu merek rokok tertentu. Ada yang suka dengan merek macam Djarum Super, Gudang Garam, Marlboro, hingga Sampoerna.
Para perokok ini pun memiliki rasa bangga dengan selera rokoknya. Seringkali, orang-orang tertentu menjadikan merek sebagai sebuah pembahasan. Jika kalian sedang ‘bercumbu’ dengan para perokok, cobalah untuk membeli sebuah rokok bermerek asing, macam Aroma, Gudang Garam Djaja, atau Minak Djinggo. Pembahasan serius yang tadinya menyangkut urusan negara, akan berubah ketika kalian membawa merek rokok semacam di atas.
“Wih masih pertengahan bulan padahal, kok bawanya rokok akhir bulan?”, “Buset rokok petani ngapa lu bawa-bawa ke mari, bro?, “Lu mau ngerokok apa mau ngusir nyamuk?”
Berbagai tanggapan di atas sudah pasti keluar oleh sebagian para perokok yang kamu singgahi. Biasanya, kamu akan menemuinya ketika sedang melingkar bersama perokok yang kebanyakan mahasiswa perkotaan besar. Alasan mereka jelas, merek rokok yang kalian bawa masih tabu dari pandangan mereka sehari-hari. Bisa juga, merek rokok itu pernah membawa kenangan pahit bagi sang pencibir.
Jujur, perkataan semacam itu membuat saya kesal. Orang-orang macam inilah yang bisa dikatakan sebagai para kufur nikmat. Selain tak bersyukur dengan ciptaan Tuhan, mereka juga tak sadar menyakiti hati sesama perokok. Bahkan kalau mau lebih jahat lagi, mereka tak sadar bahwa omongan itu merupakan sebuah kejahatan besar untuk para petani Tembakau.
Perkataan mereka seolah-olah menciptakan sebuah sekte antara perokok satu dengan perokok lainnya. Mereka semacam hasil reinkarnasi dari para penduduk Eropa zaman dulu. Pada masa pertengahan di Eropa, terdapat sebuah kelompok masyarakat Kristen yang terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama diisi oleh golongan Kristen dengan konsep Paus sebagai poros, sedangkan golongan kedua diisi golongan Kristen yang mengkritik sistem Paus dan menginginkan perubahan.
Perpecahan dua golongan ini menyebabkan perang besar yang kita kenal dengan istilah Perang Salib. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa keyakinan mereka benar. Barulah pada tahun 1648, Perang Salib berakhir lewat Perdamaian Westfallen.
Di dalam Islam, kita mengenal perpecahan sekte antara kelompok Sunni dan Syiah. Perpecahan ini bermula saat Nabi Muhammad meninggal dunia. Akibatnya, terjadilah kekosongan kekuasaan yang biasa disebut vacuum of power. Kelompok Syiah berpandangan teguh bahwa penerus Nabi Muhammad adalah anaknya, yakni Ali bin Abi Thalib. Namun kelompok Sunni meyakini bahwa penerus Nabi Muhammad adalah Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, baru Ali.
Di Indonesia pun, kita juga pernah mengalami peristiwa perpecahan sekte, antara kelompok Nasionalis, Agamis, dan Komunis. Mereka sama-sama berkeyakinan bahwa ideologi yang dianut adalah benar. Alih-alih runcingnya perbedaan, mereka semua sepakat bahwa Indonesia haruslah menjadi negara yang super power, adil, dan sejahtera.
Apa yang menjadi benang merah antara perbedaan selera perokok dengan perpecahan sekte di atas? Sederhana saja, jangan sampai kejadian mengerikan di atas kembali terjadi kepada para insan perokok. Sejarah sudah membuktikan, perpecahan adalah suatu hal yang sudah sepatutnya untuk dihindari. Mari para perokok sekalian belajar, bahwa perbedaan rasa bukanlah menjadi suatu hal yang menjadi pemecah. Mari menghormati perbedaan.
Boleh saja jika kalian para perokok tetap teguh dengan pendirian masing-masing. Namun alangkah baiknya jika tetap menghormati kenikmatan selera dalam tembakau yang disajikan. Atau barangkali, coba saja mencicipi suguhan baru yang disajikan para perokok anti mainstream tersebut. Yang terpenting, jangan sampai munafik ketika kamu sedang tak memiliki uang dan membeli rokok yang sudah kamu cibirkan.
Artikel ini telah diunggah di laman Boleh Merokok
0 Comments