Sumber: Historia |
Cerita bermula ketika Habibie diperintahkan pulang ke Indonesia oleh Presiden
saat itu, Soeharto pada tahun 1974. Padahal saat itu Habibie sendiri menjabat
sebagai Wakil Direktur industri penerbangan di Jerman, Messerschimtt
Bolkow-Blohm. Dari panggilan ini, hatinya tergerak untuk segera kembali ke
tanah air, meninggalkan jabatan yang sudah ia emban di negara sana.
Jerman sendiri memang menjadi tempat memperoleh pendidikan untuk
Habibie. Lelaki asal Sulawesi Selatan ini memang memiliki kepintaran yang luar
biasa. Hal ini dibuktikan lewat keberhasilannya dalam menyelesaikan pendidikan
doktor ingenieurnya di universitas terbaik Jerman saat itu, Rheinisc Westfälische
Technische Hochschule Aachen. Bahkan, predikat yang ia peroleh saat itu adalah summa cumlaude.
Tak ayal, alasan inilah yang membuat Soeharto untuk memanggil kembali
Habibie. Tahun 1976, ia menjadi Direktur Utama PT Industri Pesawat Terbang
Nurtanio (IPTN), yang nantinya akan berubah nama menjadi PT Industri Pesawat
Terbang Nusantara (1985) dan PT Dirgantara Indonesia (2000).
Mendapatkan amanah jabatan ini, Habibie pun tak menyia-nyiakan
kesempatan. Semua ilmu yang ia peroleh dari Jerman ia terapkan di Indonesia.
Akhir 1970-an, IPTN berkolaborasi dengan perusahaan penerbangan asal Spanyol,
CASA. Keduanya berhasil merancang sebuah pesawat komuter bernama CN-235 Tetuko.
C sendiri berarti CASA, sedangkan N berarti Nusantara.
Pesawat CN-235 digadang sebagai hasil karya Indonesia yang nantinya akan
sukses dilirik dunia. Benar saja, pada 1980-an, pesawat ini akhirnya dibeli
oleh beberapa negara luar, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Thailand,
Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan. Bahkan, Amerika sebagai negara adidaya
pun turut membeli pesawat tersebut dan dijadikan ke dalam berbagai fungsi.
Mulai dari pesawat militer tempur, transportasi militer, patroli panai, hingga
untuk penerbangan komersial.
Habibie pun berpikir untuk melanjutkan sebuah proyek penerbangan yang
prosesnya dibuat sendiri oleh bangsa Indonesia. Dalam rapat pimpinan teras IPTN
tahun 1987, Habibie mengutarakan pendapatnya untuk membuat pesawat dengan nama
N-250. Ide ini pun juga sempat berubah-ubah. Awalnya diperuntukkan untuk 30
kursi dengan nama N-230, kemudian ada wacana menjadi 70 kursi, barulah pada
1989 disahkan menjadi 50 kursi dengan nama N-250.
Berbekal dari pengalaman di IPTN dan pendidikan di Jerman, Habibie
kemudian membentuk sebuah tim untuk melanjutkan proyek penerbangan. Tim ini
sendiri beranggotakan Habibie yang dibantu 30 insinyur. Bersama tim ini,
Habibie membuat rencana pembuatan pesawat yang memakan waktu hingga sepuluh
tahun.
Pada 1989, Habibie mengumumkan proyek pembuatan N-250 nanti akan
digunakan untuk pelayanan terbang jangka pendek. Ia menyarankan timnya untuk
menyiapkan pesawat dengan teknologi turboprop agar baling-baling yang digunakan
bisa meningkatkan kecepatan hingga 330 knot.
Namun setelah disusun ulang, Habibie dan timnya memutuskan bahwa N-250
menggunakan teknologi fly-by-wire.
Dengan teknologi ini, komputer secara otomatis bisa mengambil alih pesawat
apabila saat itu pilot sedang lengah. Dari keputusan ini, N-250 menjadi pesawat
ketiga yang menerapkan teknologi tersebut. Pesawat sebelumnya yang menggunakan
teknologi ini adalah Boeing 747 asal Amerika Serikat dan Airbus A-340 asal
Eropa.
Tahun 1990-an, ide pembuatan pesawat ini menjadi bahan perbincangan
negara luar. Saat Habibie berada di Washington DC, Amerika Serikat, ia
mendapatkan tawaran untuk bekerja sama dalam merakit pesawat di beberapa negara
bagian AS, seperti Ohio, Alabama, Utah, Arizona, Oregon, dan Kansas. Alasannya,
beberapa komponen pendukung untuk pembuatan N-250 tak hanya berasal dari
Indonesia, tetapi ada juga yang dari luar negeri, seperti Amerika, Prancis,
Inggris, hingga Jerman.
Dari ketersediaan komponen ini, apabila pembuatan pesawat dilakukan di
Indonesia, maka akan memakan lebih banyak biaya. Di sisi lain, Amerika bisa
dijadikan mitra kerja sama dalam pembuatan proyek ini. Habibie bisa mendapatkan
dana tambahan dari pihak Amerika.
Seperti halnya produk ekonomi lain, N-250 pun juga memiliki saingan. Saat
itu, ada tiga perusahaan maskapai yang membuat pesawat dengan jenis yang sama,
yakni IPTN (Indonesia), ATR72 (Prancis), dan ATP (Inggris). Dikutip dari Tempo, N-250 buatan Indonesia lebih
unggul, mulai dari segi kemampuan jelajah, teknologi, hingga harga. Saat itu,
harga N-250 ditaksir mencapai U$13,5 juta per unit, lebih murah 10% dari
saingannya.
Dalam wawancara selanjutnya di media yang sama, Habibie dengan berani
mengatakan bahwa pesawat buatan dalam negeri ini tak akan memiliki saingan. Ia
beralasan, pesawat dengan model ini tidak dilirik satupun oleh maskapai luar
negeri lain. Amerika pun lebih memilih membuat pesawat dengan model Boeing atau
jet eksekutif. Sedangkan negara dengan banyak modal seperti Jerman dan Jepang
tak tertarik membuatnya.
Sumber: Indonesia.go.id |
Namun di sisi lain, Tempo memperingatkan
Habibie bahwa pembuatan N-250 versi IPTN akan memiliki saingan berat. Saat itu,
Jepang turut bekerja sama dengan Boeing, ATR, Saab, dan AVIC. China juga turut
menggandeng McDonnel Douglas. Korea pun turut ikut dengan menggandeng China dan
Lockhead. Sedangkan saingan terberat IPTN adalah Perusahaan Embraer asal
Brazil.
Barulah pada 10 Agustus 1995, Pesawat N-250 Gatotkaca buatan anak bangsa
ini diuji coba untuk diterbangkan di Lapangan Udara Husein Sastranegara,
Bandung. Pesawat itu pun berhasil diterbangkan selama satu jam dengan
ketinggian seribu kaki. Tak lupa, proses penerbangan ini juga dikawal oleh
CN-235 versi MPA dan pesawat latih tempur Seko Galeb.
Dalam uji coba ini, Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi sekaligus
Direktur Utama Industri Pesawat Terbang terlihat sangat antusias. Sorak sorai
keberhasilan ini membuat Tien memeluk Habibie atas karyanya. Uji coba ini
dihadiri oleh Presiden RI Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto, para pejabat,
hingga ribuan masyarakat lain. Acara ini pun turut ditayangkan dalam siaran
televisi dan juga radio.
Habibie selaku perancang utama memilih tak jumawa. Menurutnya, N-250
Gatotkaca merupakan produk hasil karya anak bangsa, bukan dirinya sendiri. Ia
menambahkan, banyak dari tim bentukannya yang usianya rata-rata di bawah 40
tahun. Habibie mengakui, banyak dari mereka yang buruk dalam kemampuan
berbicara, tapi jenius ketika diajak untuk berpikir.
Selama pembuatan N-250 Gatotkaca, Habibie bercerita bahwa tim telah
bekerja secara maksimal. Saat bekerja, ia mengatakan bahwa banyak dari anggota
tim yang bekerja hingga pukul 02.00 malam. Bahkan, mereka juga tidur selama dua
jam setiap harinya dan dilakukan selama berbulan-bulan. Oleh karenanya, Habibie
siap pasang badan untuk memperjuangkan kelanjutan pesawat tersebut.
Namun semarak ini tak bertahan lama. Tahun 1998, Indonesia mengalami
masa krisis moneter yang berujung pada reformasi Mei 1998. Untuk menstabilkan
keadaan, Presiden Soeharto lantas mengajukan pinjaman dari International
Monetary Fund (IMF). Namun IMF memiliki syarat, pinjaman akan diberikan apabila
proyek N-250 Gatotkaca tidak dilanjutkan.
Alhasil, Soeharto menyetujui syarat tersebut. Harapan Habibie untuk
memajukan penerbangan Indonesia lewat N-250 Gatotkaca pun tidak dilanjutkan.
Padahal, ia membuat proyek ini agar Indonesia tak selalu bergantung pada impor
pesawat dari Airbus dan Boeing.
Di sisi lain, IPTN juga memasuki masa senjanya. Tercatat, mereka telah mengeluarkan pegawai sebanyak 16 ribu orang. Para insinyur mantan bawahan Habibie memilih melanjutkan karirnya ke Industri Pesawat Terbang Embraer asal Brazil. Hasilnya, perusahaan ini berhasil meraih keuntungan akibat migrasi dari pekerja Indonesia.
*Artikel ini telah tayang di Majalah Airmagz edisi Oktober 2019
0 Comments