Sumber: Historia
10 Agustus 1995 menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Indonesia. Di Lapangan Udara Husein Sastranegara, seorang pilot berhasil menerbangkan prototipe pesawat N-250 Gatotkaca. Pesawat ini adalah buatan ilmuwan yang nantinya menjadi Presiden Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie. Sejak saat itu, harapan Indonesia dalam mewarnai geliat industri penerbangan mulai mengudara.

Cerita bermula ketika Habibie diperintahkan pulang ke Indonesia oleh Presiden saat itu, Soeharto pada tahun 1974. Padahal saat itu Habibie sendiri menjabat sebagai Wakil Direktur industri penerbangan di Jerman, Messerschimtt Bolkow-Blohm. Dari panggilan ini, hatinya tergerak untuk segera kembali ke tanah air, meninggalkan jabatan yang sudah ia emban di negara sana.

Jerman sendiri memang menjadi tempat memperoleh pendidikan untuk Habibie. Lelaki asal Sulawesi Selatan ini memang memiliki kepintaran yang luar biasa. Hal ini dibuktikan lewat keberhasilannya dalam menyelesaikan pendidikan doktor ingenieurnya di universitas terbaik Jerman saat itu, Rheinisc Westfälische Technische Hochschule Aachen. Bahkan, predikat yang ia peroleh saat itu adalah summa cumlaude.

Tak ayal, alasan inilah yang membuat Soeharto untuk memanggil kembali Habibie. Tahun 1976, ia menjadi Direktur Utama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), yang nantinya akan berubah nama menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (1985) dan PT Dirgantara Indonesia (2000).

Mendapatkan amanah jabatan ini, Habibie pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Semua ilmu yang ia peroleh dari Jerman ia terapkan di Indonesia. Akhir 1970-an, IPTN berkolaborasi dengan perusahaan penerbangan asal Spanyol, CASA. Keduanya berhasil merancang sebuah pesawat komuter bernama CN-235 Tetuko. C sendiri berarti CASA, sedangkan N berarti Nusantara.

Pesawat CN-235 digadang sebagai hasil karya Indonesia yang nantinya akan sukses dilirik dunia. Benar saja, pada 1980-an, pesawat ini akhirnya dibeli oleh beberapa negara luar, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan. Bahkan, Amerika sebagai negara adidaya pun turut membeli pesawat tersebut dan dijadikan ke dalam berbagai fungsi. Mulai dari pesawat militer tempur, transportasi militer, patroli panai, hingga untuk penerbangan komersial.

Habibie pun berpikir untuk melanjutkan sebuah proyek penerbangan yang prosesnya dibuat sendiri oleh bangsa Indonesia. Dalam rapat pimpinan teras IPTN tahun 1987, Habibie mengutarakan pendapatnya untuk membuat pesawat dengan nama N-250. Ide ini pun juga sempat berubah-ubah. Awalnya diperuntukkan untuk 30 kursi dengan nama N-230, kemudian ada wacana menjadi 70 kursi, barulah pada 1989 disahkan menjadi 50 kursi dengan nama N-250.

Berbekal dari pengalaman di IPTN dan pendidikan di Jerman, Habibie kemudian membentuk sebuah tim untuk melanjutkan proyek penerbangan. Tim ini sendiri beranggotakan Habibie yang dibantu 30 insinyur. Bersama tim ini, Habibie membuat rencana pembuatan pesawat yang memakan waktu hingga sepuluh tahun.

Pada 1989, Habibie mengumumkan proyek pembuatan N-250 nanti akan digunakan untuk pelayanan terbang jangka pendek. Ia menyarankan timnya untuk menyiapkan pesawat dengan teknologi turboprop agar baling-baling yang digunakan bisa meningkatkan kecepatan hingga 330 knot.

Namun setelah disusun ulang, Habibie dan timnya memutuskan bahwa N-250 menggunakan teknologi fly-by-wire. Dengan teknologi ini, komputer secara otomatis bisa mengambil alih pesawat apabila saat itu pilot sedang lengah. Dari keputusan ini, N-250 menjadi pesawat ketiga yang menerapkan teknologi tersebut. Pesawat sebelumnya yang menggunakan teknologi ini adalah Boeing 747 asal Amerika Serikat dan Airbus A-340 asal Eropa.

Tahun 1990-an, ide pembuatan pesawat ini menjadi bahan perbincangan negara luar. Saat Habibie berada di Washington DC, Amerika Serikat, ia mendapatkan tawaran untuk bekerja sama dalam merakit pesawat di beberapa negara bagian AS, seperti Ohio, Alabama, Utah, Arizona, Oregon, dan Kansas. Alasannya, beberapa komponen pendukung untuk pembuatan N-250 tak hanya berasal dari Indonesia, tetapi ada juga yang dari luar negeri, seperti Amerika, Prancis, Inggris, hingga Jerman.

Dari ketersediaan komponen ini, apabila pembuatan pesawat dilakukan di Indonesia, maka akan memakan lebih banyak biaya. Di sisi lain, Amerika bisa dijadikan mitra kerja sama dalam pembuatan proyek ini. Habibie bisa mendapatkan dana tambahan dari pihak Amerika.

Seperti halnya produk ekonomi lain, N-250 pun juga memiliki saingan. Saat itu, ada tiga perusahaan maskapai yang membuat pesawat dengan jenis yang sama, yakni IPTN (Indonesia), ATR72 (Prancis), dan ATP (Inggris). Dikutip dari Tempo, N-250 buatan Indonesia lebih unggul, mulai dari segi kemampuan jelajah, teknologi, hingga harga. Saat itu, harga N-250 ditaksir mencapai U$13,5 juta per unit, lebih murah 10% dari saingannya.

Dalam wawancara selanjutnya di media yang sama, Habibie dengan berani mengatakan bahwa pesawat buatan dalam negeri ini tak akan memiliki saingan. Ia beralasan, pesawat dengan model ini tidak dilirik satupun oleh maskapai luar negeri lain. Amerika pun lebih memilih membuat pesawat dengan model Boeing atau jet eksekutif. Sedangkan negara dengan banyak modal seperti Jerman dan Jepang tak tertarik membuatnya.

Sumber: Indonesia.go.id
Namun di sisi lain, Tempo memperingatkan Habibie bahwa pembuatan N-250 versi IPTN akan memiliki saingan berat. Saat itu, Jepang turut bekerja sama dengan Boeing, ATR, Saab, dan AVIC. China juga turut menggandeng McDonnel Douglas. Korea pun turut ikut dengan menggandeng China dan Lockhead. Sedangkan saingan terberat IPTN adalah Perusahaan Embraer asal Brazil.

Barulah pada 10 Agustus 1995, Pesawat N-250 Gatotkaca buatan anak bangsa ini diuji coba untuk diterbangkan di Lapangan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Pesawat itu pun berhasil diterbangkan selama satu jam dengan ketinggian seribu kaki. Tak lupa, proses penerbangan ini juga dikawal oleh CN-235 versi MPA dan pesawat latih tempur Seko Galeb.

Dalam uji coba ini, Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Direktur Utama Industri Pesawat Terbang terlihat sangat antusias. Sorak sorai keberhasilan ini membuat Tien memeluk Habibie atas karyanya. Uji coba ini dihadiri oleh Presiden RI Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto, para pejabat, hingga ribuan masyarakat lain. Acara ini pun turut ditayangkan dalam siaran televisi dan juga radio.

Habibie selaku perancang utama memilih tak jumawa. Menurutnya, N-250 Gatotkaca merupakan produk hasil karya anak bangsa, bukan dirinya sendiri. Ia menambahkan, banyak dari tim bentukannya yang usianya rata-rata di bawah 40 tahun. Habibie mengakui, banyak dari mereka yang buruk dalam kemampuan berbicara, tapi jenius ketika diajak untuk berpikir.

Selama pembuatan N-250 Gatotkaca, Habibie bercerita bahwa tim telah bekerja secara maksimal. Saat bekerja, ia mengatakan bahwa banyak dari anggota tim yang bekerja hingga pukul 02.00 malam. Bahkan, mereka juga tidur selama dua jam setiap harinya dan dilakukan selama berbulan-bulan. Oleh karenanya, Habibie siap pasang badan untuk memperjuangkan kelanjutan pesawat tersebut.

Namun semarak ini tak bertahan lama. Tahun 1998, Indonesia mengalami masa krisis moneter yang berujung pada reformasi Mei 1998. Untuk menstabilkan keadaan, Presiden Soeharto lantas mengajukan pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Namun IMF memiliki syarat, pinjaman akan diberikan apabila proyek N-250 Gatotkaca tidak dilanjutkan.

Alhasil, Soeharto menyetujui syarat tersebut. Harapan Habibie untuk memajukan penerbangan Indonesia lewat N-250 Gatotkaca pun tidak dilanjutkan. Padahal, ia membuat proyek ini agar Indonesia tak selalu bergantung pada impor pesawat dari Airbus dan Boeing.

Di sisi lain, IPTN juga memasuki masa senjanya. Tercatat, mereka telah mengeluarkan pegawai sebanyak 16 ribu orang. Para insinyur mantan bawahan Habibie memilih melanjutkan karirnya ke Industri Pesawat Terbang Embraer asal Brazil. Hasilnya, perusahaan ini berhasil meraih keuntungan akibat migrasi dari pekerja Indonesia.

*Artikel ini telah tayang di Majalah Airmagz edisi Oktober 2019