Sumber: Pixabay
Akhir 2018 lalu, kenaikan harga tiket pesawat membuat geger masyarakat indonesia. Sontak, masyarakat pun turut meramaikan kenaikan harga ini di media sosial. Mereka menuntut agar harga tiket kembali ke tarif awal. Untuk mengakomodasi keluhan itu, Budi Karya Sumadi selaku Menteri Perhubungan (Menhub) Republik Indonesia turut angkat bicara.

“Setiap keputusan di industri penerbangan ini pasti akan mendapatkan respons dari masyarakat. Dari sana, maskapai harus peka dengan dalam melihat kemampuan daya beli para konsumen,” ujar Budi Karya di Jakarta, Rabu (25/9).

Budi melanjutkan, pemerintah pun turut menyoroti masalah yang ada di industri penerbangan. Dalam hal ini, pemerintah telah menghabiskan 35 persen anggaran untuk membangun bandara dan fasilitas pendukung lainnya.

Terkait regulasi, kebijakan penerbangan di Indonesia sendiri telah diatur pemerintah lewat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam Pasal 1 Ayat 1, disebutkan bahwa pemerintah harus memprioritaskan keselamatan dan keamanan dalam aktivitas penerbangan.

Maria Kristi Endah Murni selaku Direktur Angkutan Udara turut bicara. Menurutnya, isu lain yang juga beredar di masyarakat adalah kenapa pemerintah tidak memasukkan maskapai asing ke dalam persaingan penerbangan di Indonesia. Maria mengatakan, pemerintah telah mempermudah izin penerbangan bagi maskapai yang ingin menanamkan modalnya. Jika dibandingkan dengan 2015 lalu, Maria mengakui bahwa izin penerbagan saat itu bersifat rumit.

“Dulu, pemerintah perlu mengkaji perizinan maskapai yang sudah diajukan. Mulai dari analisis keamanan dan tarif kepada para konsumen. Kalau sekarang, perizinan bisa dilakukan melalui online. Oleh karenanya, silakan saja maskapai masuk ke sini,” jelasnya, Rabu (25/9).

Namun, ada beberapa syarat yang diperlukan ketika maskapai ingin masuk ke Indonesia. Maria menambahkan, perizinan penerbangan sudah tercantum dalam UU No. 1 Tahun 2009. Dalam regulasi itu, tertulis bahwa maskapai asing dibolehkan masuk apabila mereka memiliki lima aset pesawat secara pribadi dan lima pesawat dari modal sewa.

Menurut Maria, masih ada beberapa faktor yang turut menentukan kenaikan harga tiket pesawat. Salah satunya yakni harga avtur. Di Indonesia sendiri, Maria mengatakan bahwa harga avtur bersifat tidak merata. Ia menjelaskan, untuk Indonesia bagian timur, harga avtur bisa dibilang cukup mahal dibandingkan dengan harga di bagian barat Indonesia.

“Jika dilihat kan, banyak lalu lintas maskapai yang rutenya juga ke arah Indonesia bagian timur. Sedangkan untuk pemakaian, Pesawat Boeing saja memerlukan 3 hingga 3,5 ton avtur dalam sekali penerbangan,” katanya.

Dalam paparan selanjutnya, kenaikan harga tiket juga ditentukan oleh kenaikan US Dollar terhadap rupiah. Maria mengatakan, pemasukan yang didapatkan dari para maskapai sendiri adalah uang dalam bentuk rupiah. Sedangkan untuk pengeluaran, mata uang yang dipakai justru berupa dollar. Menurutnya, korelasi mata uang ini nantinya bisa membuat maskapai kehilangan keseimbangan dalam pemasukan dan pengeluaran keuangannya.

Hal senada juga diungkapkan Wismono Nitidiharjo. Kepala Peneliti Indonesia National Air Carrier (INACA) ini sepakat bahwa faktor US Dollar dan avtur turut berpengaruh dalam kenaikan harga. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa harga avtur menjadi berperan hingga 30-50% dalam biaya operasi penerbangan.

“Dari total 100% pengeluaran maskapai, 44% digunakan untuk pengoperasian penerbangan, 29% untuk pelayanan, 14% untuk reservation dan sales expense, dan 13% untuk kebutuhan umum, administrasi, hingga periklanan. Nah kebutuhan untuk avtur masuk ke dalam biaya 44% tadi,” papar Wismono, Rabu (25/9).

Untuk mengendalikan harga avtur, Wismono menyarankan beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah. Hal pertama yang bisa dilakukan yakni pemerintah perlu menerapkan regulasi yang ketat untuk memastikan harga avtur sesuai dengan biaya distribusi, Kedua, pemerintah tak perlu menerapkan pajak untuk pembelian avtur. Ketiga, pemerintah bisa mengizinkan operasional bandara untuk menyediakan pemasok avtur selain Pertamina.

Selain Wismono, polemik penerbangan ini juga menjadi sorotan bagi Chaikal Nuryakin selaku Peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI). Chaikal menyatakan, ada kebijakan pemerintah yang sekiranya menjadikan faktor paling bermasalah di dalam kondisi penerbangan Indonesia, yaitu regulasi.

Chaikal meyakini, regulasi selama ini seolah menjadi momok dalam berbagai kebijakan penerbangan. Sebelumnya, ia menyatakan bahwa persaingan maskapai di Indonesia dialami oleh berbagai pihak. Namun dengan berbagai kondisi, tersisalah dua maskapai yang terbesar, yakni Garuda dan Lion Air.

“Dua maskapai inilah yang akhirnya mampu menentukan harga tiket pesawat. Setelah berdarah-darah bertarung dengan memberikan harga yang murah kepada penumpang, barulah mereka mencoba mengendalikan kerugiannya lewat naiknya harga tiket. Kita sebagai masyarakat kan jelas kaget ya, kenapa harga yang dulunya bisa murah, kok sekarang jadi mahal?” jelasnya, Rabu (25/9).

Untuk itulah, Chaikal menyarankan pemerintah untuk mengatur ulang kebijakan regulasi penerbangan di Indonesia. Ia mencontohkan, syarat maskapai yang memerlukan asset pesawat hingga sepuluh unit perlu dikaji ulang. Dari sana, maka maskapai baru akan muncul dan berperan dalam pasar penerbangan di Indonesia, sekaligus menghapus duopoli yang dilakukan oleh pihak Garuda dan Lion.

Fenomena duopoli maskapai penerbangan ini juga turut menjadi fokus Jaafar Zamhari. Konsultan di Aviation Ian Ventures Sdn Bhd asal Malaysia ini membandingkan kebijakan penerbangan yang dilakukan di Malaysia. Di sana, Jaafar menjelaskan bahwa Pemerintah tidak menerapkan regulasi kepemilikan pesawat seperti yang dilakukan di Indonesia.

“Jika Indonesia memerlukan sepuluh pesawat untuk mendirikan maskapai, maka di Malaysia hanya memerlukan satu unit pesawat untuk syarat pembuatan maskapai. Makanya, di Malaysia tidak ada maskapai yang berkuasa seperti di Indonesia. Pasar penerbangan kami berbentuk oligopoli, bukan duopoli,” paparnya, Rabu (25/9).

*Artikel ini telah tayang di Majalah Airmagz edisi Oktober 2019