Ilustrasi: Digination.id |
Perusahaan di Indonesia memiliki pandangan yang lebih optimis ketimbang perusahaan di kancah dunia, termasuk di wilayah Asia. Optimisme tersebut menyangkut prospek bisnis jangka pendek, menengah, dan panjang. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa sejumlah kebijakan ekonomi makro yang diambil pemerintah akan semakin memperkuat konsumsi domestik dan investasi.
Menurut survei HSBC yang bertajuk Navigator: Now, next and how yang mengukur sentimen dan harapan dunia bisnis di 35 pasar di seluruh dunia. “para pebisnis di Indonesia memperlihatkan rasa optimisme yang sangat besar, dengan tingkat kepercayaan diri yang jauh lebih tinggi dibanding perusahaan-perusahaan lain di seluruh dunia termasuk di wilayah Asia,” kata Anurag Saigal, Deputi Direktur Commercial Banking HSBC Indonesia.
Navigator merangkum hasil survei komprehensif terhadap 9.131 perusahaan dari enam wilayah berbeda. Survei ini merupakan bagian dari serangkaian laporan Navigator yang dipublikasikan HSBC untuk mengetahui sentimen dan melihat masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan di seluruh dunia.
Survei ini juga mencoba melihat rencana investasi para pebisnis, bagaimana mereka mengambil keputusan-keputusan penting, melakukan berbagai perubahan, serta mengembangkan bisnis. Sebanyak 150 perusahaan dari Indonesia menjadi bagian dari sampel penelitian ini.
HSBC menetapkan kriteria pengambilan sampel, yaitu perusahaan dengan omset minimal US$1,75 juta dan batas korporasi sebesar US$16,5 juta. Responden merupakan para pengambil keputusan kunci dan mereka yang memiliki pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan di perusahaan.
Satu temuan penting dari survei ini adalah lebih dari setengah perusahaan Indonesia termasuk dalam kategori Navigator, yang berarti mereka mengharapkan penjualan tumbuh sebesar 15 % atau lebih pada tahun berikutnya. Responden Indonesia juga merasa percaya diri atas prospek bisnis masa depan mereka, di mana sembilan dari sepuluh perusahaan Indonesia optimis tentang pertumbuhan dibandingkan dengan setahun lalu.
“Optimisme di Indonesia berada di atas rata-rata se-Asia Pasifik. Negara yang mendekati tingkat optimisme Indonesia adalah Bangladesh dengan 74% dan India dengan 72%,” tambah Anurag.
Anurag berkomentar bahwa survei Navigator juga menunjukkan bahwa para pengambil keputusan dari perusahaan Indonesia optimis terhadap prospek jangka pendek, menengah dan panjang. Responden dari negara kepulauan ini memiliki prospek positif untuk tahun depan hingga lima tahun selanjutnya. Mereka juga lebih optimis tentang pertumbuhan dalam 12 bulan terakhir, level yang dianggap jauh di atas rata-rata global.
Selain itu, survei ini juga mengungkapkan bahwa pada tahun depan, 54% unit bisnis di Indonesia memperkirakan penjualan mereka akan tumbuh hingga 15%, bahkan lebih. Perkiraan ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata pencapaian global (22%) dan Asia Pasifik (19%).
“Bisnis Indonesia adalah yang paling optimis di 35 pasar. Bangladesh adalah yang terdekat, dengan 50% perusahaan di Bangladesh mengharapkan pertumbuhan penjualan 15% atau lebih,” kata Anurag.
Dalam jangka waktu lima tahun, proporsi bisnis di Indonesia yang mengharapkan penjualan tumbuh 15% atau lebih mencapai 61%.
Hasil survei juga mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia diperkirakan bertumbuh pada tahun depan. Faktor ini kemungkinan juga didorong oleh gabungan peningkatan fokus pada keberlanjutan, seperti pemasok, bahan baku berkualitas tinggi, serta sokongan tenaga kerja yang terampil. Ketiga faktor ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan pengembangan bisnis dengan pembukaan pasar baru dan pengenalan produk baru.
Indonesia, yang merupakan negara terpadat keempat di dunia, telah menjadi kekuatan ekonomi dengan pertumbuhan pesat selama kurang lebih satu dekade terakhir ini. Sejak 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% tiap tahunnya. Para pembuat keputusan dalam perusahaan yang disurvei percaya bahwa tahun depan sepertinya masih menjadi tahun pertumbuhan bagi Indonesia. Sebab, kebijakan ekonomi makro yang bijak dengan memegang prinsip keberhati-hatian semakin memperkuat konsumsi domestik dan masuknya aliran investasi.
“Melawan arus global sepertinya terdengar ambisius, tetapi masa depan ekonomi Indonesia berpotensi terlihat cerah,” sebagaimana disampaikan Dandy Pandi, Country Head Global Trade and Receivable Finance HSBC Indonesia.
Dandy menambahkan, strategi utama bagi bisnis di Indonesia untuk menghadapi ancaman bisnis difokuskan pada peningkatan portofolio melalui berbagai cara. 48% dari perusahaan yang disurvei menyebutkan bahwa mereka meningkatan kualitas produk atau layanan. Selanjutnya, 26% melalui investasi untuk inovasi. Selain itu, penggunaan bahan baku dan pemasok dengan kualitas lebih baik berjumlah 25%, dan perluasan platform dan saluran digital merupakan strategi kunci lainnya. Kemudian, sekitar 30% perusahaan juga menyebutkan bahwa ekspansi ke pasar-pasar baru adalah kunci strategi perluasan mereka.
Survei tersebut juga melampirkan pandangan warga dunia tentang perdagangan internasional. Hampir semua kalangan bisnis 97% mengharapkan prospek bagus untuk bisnis internasional dan 45% merasa sangat positif akan hal ini.
Survei ini juga merinci bahwa responden dari Indonesia lebih bersemangat ketika ditanya apakah perdagangan internasional akan mendatangkan kesempatan bisnis untuk lima tahun ke depan (Indonesia 96%, dunia 79%), menghadirkan inovasi (Indonesia 95%, dunia 80%), meningkatkan pendapatan (Indonesia 96%, dunia 70%), efisiensi (Indonesia 94%, dunia 78%), dan mendukung ketenagakerjaan (Indonesia 94%, dunia 73%).
“Hasil tersebut umumnya lebih tinggi daripada %tase global. Manfaat yang diharapkan di Indonesia beragam, mulai dari manfaat langsung (kesempatan baru dan efisiensi), manfaat untuk pekerja (pendapatan dan perekrutan kerja), serta manfaat bagi konsumen (inovasi),” kata Dandy.
Satu fakta baru yang menarik dari survei ini yaitu dunia bisnis di Indonesia merasa bahwa proteksionisme semakin marak di negara tempat mereka melakukan aktivitas bisnis. Survei juga mengungkapkan bahwa mayoritas dari para responden berpendapat bahwa proteksionisme lebih memberikan keuntungan. Kalangan bisnis mengatasi dampak proteksionisme dengan berfokus pada kanal digital, pemangkasan biaya, mengubah portofolio, dan mengambil dari pemasok lokal.
Navigator juga mengungkapkan bahwa lebih dari 85 % kalangan bisnis di Indonesia memandang bahwa proteksionisme sedang marak. Angka pertumbuhannya cukup signifikan per tahun dari 55% di tahun 2017 sampai hampir tiga perempatnya (71%) tahun 2018.
Dengan pergeseran yang terjadi di tingkat regional dan domestik, semakin banyak perusahaan bergerak menuju era teknologi digital dan menciptakan ekosistem untuk mendukung perubahan itu. Sangat penting agar pebisnis di Indonesia mengikuti perkembangan zaman dengan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi operasional, meningkatkan penjualan, dan menemukan mitra strategis yang tepat.
Perusahaan-perusahaan juga dapat fokus pada penjualan online. Menurut Navigator, 40% perusahaan melihat metode ini sebagai cara untuk menangkal proteksionisme dan 34% menggunakannya sebagai strategi untuk mengurangi risiko geopolitik.
“Iklim politik global saat ini juga mengharuskan perusahaan menilai kekuatan dan keandalan rantai pasokan mereka. Mengamankan pasokan bahan baku dan energi adalah kuncinya,” Dandy berpendapat.
Perusahaan di Indonesia harus memperhatikan seruan keberlanjutan dari dunia internasional, kompetitor, dan investor, karena pada akhirnya hal ini akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan harus fokus pada keuangan, berinvestasi lebih banyak di sektor teknologi, serta mengembangkan kerangka kerja berkelanjutan. Navigator juga menyarankan sektor manufaktur Indonesia untuk fokus pada rantai pasokan yang dapat dilacak.
*Artikel ini telah dimuat di Airmagz
0 Comments