Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah sebuah kampus islam negeri yang berada di Ciputat, Tanggerang Selatan. UIN Jakarta adalah tempat di mana mahasiswanya menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tak hanya pendidikan, mahasiswa juga bisa memperoleh suasana kampus yang pemikirannya “terbuka” ini, terma-suk sistem politik.

Sebelum reformasi di Indonesia, UIN Jakarta menganut sistem politik yang bernama Senat. Dari awal UIN Jakarta didirikan, Senat adalah sistem pertama yang mewarnai warna politik kampus. Jika Indonesia mengalami reformasi pemerintahan pada zaman Orde Baru, UIN juga mengalami reformasi dalam sistem politiknya. Saat itu, sistem senat dirasa tidak sesuai dengan kemauan para penghuni kampus, terutama mahasiswa. Pada 1998, Senat pun digantikan dengan sistem yang baru, yakni Student Government (SG).

Peralihan sistem politik itu pun disambut baik oleh para civitas akademika. Bagaima-na tidak, semua masyarakat saat itu juga merayakan kemenangannya setelah turunnya sang Bapak Pembangunan, Soeharto. Sama halnya dengan mahasiswa UIN sendiri, mereka pun merasa ‘menang’ dan patut untuk merayakannya.

Dalam struktur politiknya, SG sama dengan gagasan yang diajukan Montesque. Ya, sistem ini sama dengan apa yang disebut trias politica: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Namun, SG tidak memiliki unsur Yudikatif. Tidak ada badan yang akan mengadili Lembaga Legislatif dan Eksekutif.

Lembaga Legislatif sendiri diisi oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU). Sedangkan Eksekutif diisi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U). DPMU sendiri berfungsi untuk menetapkan rancangan Undang-Undang (UU) yang berlaku untuk kampus. BEM-U sendiri berfungsi untuk menjalankan UU.

Lembaga-lembaga perwakilan tersebut juga diisi oleh beberapa partai. Namun, hanya ada lima partai yang bisa ‘bertahan dan eksis’ saat itu. Nama-nama partai tersebut adalah Partai Persatuan Mahasiswa (PPM), Partai Intelektual Mahasiswa (PIM), Partai Revolusi Mahasiswa (Parma), Partai Boenga, dan Partai Progresiv.

Partai-partai tersebut adalah sebuah ‘jalan’ yang digunakan oleh organisasi ekstra kampus untuk mewujudkan kadernya dalam mengisi SG. PPM digunakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), PIM dipakai Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Parma dipakai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Partai Boenga dipakai oleh Forum Kota (Forkot), dam Partai Progresiv dipakai oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Jika diperhatikan, SG hampir mirip dengan sistem pemerintahan yang berlaku di In-donesia. Dari struktur politiknya, partai-partai yang mengisi, semunya bisa diibaratkan ‘sebelas-duabelas’ dengan demokrasi di Indonesia. Wajar jika SG di UIN Jakarta dijadikan panutan oleh kampus-kampus lainnya.

Persamaan tersebut juga berlaku di dalam sisi negatifnya. Mekanisme anggaran SG yang sangat bebas membuka peluang disalahgunakan oleh mahasiswanya sendiri. Saat itu, Rektorat bebas memberikan dana untuk kebutuhan mahasiswa, terutama lembaga yang berdiri di belakangnya.

Namun, uang ini justru disalahgunakan mahasiswa. Uang yang seharusnya dipakai untuk keperluan kampus, oleh oknum dipakai untuk kepentingan ‘partainya’. Anggaran yang berjumlah besar itu malahan digunakan untuk kepentingan kampanye saat pemira.

Dari sini, Kementerian Agama mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk membu-barkan SG. Pada 2010, mereka mengganti sistem ini dengan sistem yang dulu pernah berlaku, yakni Senat. Karena tidak ada persiapan, terjadilah apa yang disebut vacuum of power di UIN Jakarta sampai 2012 kemudian.

Setelahnya, UIN pun mengadakan pemilihan umum raya (pemira) pertama kalinya. Bukan mahasiswa namanya jika sistem Senat kembali ditentang. Jika diperhatikan, semua sistem politik itu baik. Namun, pola pikir manusia sendiri yang membuat sistem itu menjadi buruk. Kita sebagai mahasiswa wajib untuk mengawal semua kebijakan penguasa. Jangan menjadi mahasiswa yang apatis, apalagi sampai budak penjilat pantat rektorat.