Ilustrasi: unycomunity.com

Sejarah pers di Indonesia sudah banyak ditulis oleh beberapa tokoh. Ulasan ini seringkali dibahas lewat buku, jurnal, maupun artikel dalam media cetak dan elektronik. Bahkan, sastrawan terkemuka, Pramoedya Ananta Toer menceritakan bagaimana pertama kali pers didirikan lewat tokoh fiksi bernama Minke dalam novelnya, Tetralogi Buru (kecuali Bumi Manusia).

Dalam sejarahnya, pers mengalami pembagian periode. Beberapa di antaranya adalah pers di masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan pasca Reformasi 1998. Sebelum Undang-Undang Kebebasan Pers 1999 diterapkan, pers di Indonesia mengalami masa-masa sulit. Kurang lebih 90 tahun, pers masih dikekang dengan kebijakan penguasa. Saat itu, banyak lembaga penerbitan yang dibredel oleh pemerintah dikarenakan sensitif terhadap isi berita.

Pasca reformasi, pers mengalami perubahan signifikan. Bermula dari penghapusan Departemen Penerangan sampai penerapan UU Kebebasan Pers, media cetak maupun tumbuh bak jamur setelah hujan. Media penerbitan semacam Kompas, Detik, dan Tempo mulai memainkan peranan penting dalam fungsinya sebagai pers. Tak main-main, berita investigasi terkait pembunuhan etnis Tionghoa menjadi topik utama di Majalah Tempo.

Pada kenyataannya, setiap keberhasilan berujung pada salah satu pihak yang tersingkirkan. Ya, pers mahasiswa (persma) menjadi korban dibalik UU Kebebasan Pers. Dahulu, persma menjadi titik perlawanan dalam mengguncang kekuasaan, baik saat Orde Lama maupun Orde Baru. Di sana, mereka memainkan peran penting lewat Jurnalisme Oposisi, atau meminjam bahasa Wisnu Prasetya Utomo, persma saat itu termasuk Jurnalisme Pemberontak.

Sampai saat ini, eksistensi persma kian meredup. Ranah mereka yang dulunya mencakup nasional kini hanya sebatas di sekitar kampus. Ini disebabkan media nasional lebih berpedan dalam menyampaikan beritanya. Tak hanya itu, faktor akademik juga menentukan sikap persma terhadap situasi nasional. Kesibukkan kuliah menjadi kendala tersendiri bagi para pegiat persma.

Belum lagi, perlakuan birokrat kampus hampir sama dengan jaman Orde Baru. Beberapa waktu lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dibredel oleh pihak rektorat. Sebabnya, Poros memberitakan terkait kekurangan gedung Fakultas Kedokteran di UAD.

Nasib serupa dialami oleh Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Universitas Mataram (Unram) juga mendapat pembekuan oleh birokrat kampus. Struktur organisasi UKPKM Media Unram diubah secara sepihak oleh rektorat.

Berbeda dengan dua nama tadi, LPM Lentera Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana mendapat perlawanan dari pihak kepolisian. Ini disebabkan karena mereka memberitakan tentang jejak Partai Komunis Indonesia (PKI) di Salatiga. Majalah Lentera pun disita dan dimusnahkan oleh polisi.

Oleh karenanya, penulis ingin menyampaikan romantisme masa lalu kejayaan pers di Indonesia, terutama persma. Berbagai problematika yang menghiasi perjalanannya menjadi fokus dalam tulisan ini. Mulai dari cara mereka membentuk aliansi sampai jegalan dari pemerintah menjadi bahan tersendiri. Semoga kumpulan book report ini mampu menerawang masa depan persma di Indonesia.

***



Judul Buku    : Pers di Masa Orde Baru
Penulis           : David T.Hill
Penerbit          : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tebal               : xix + 231
Cetakan          : 2011

Kebijakan pembredelan pers menghiasi sejarah di masa kepemimpinan Soeharto. Jika diperhatikan, gelagat pemerintah seakan paradoks dengan visi yang selalu digemborkan oleh Orde Baru (orba). Malahan, hukum konstitusi digunakan sebagai alat untuk menmbatasi kebebasan berpendapat, tak terkecuali pers mahasiswa (persma).

Sejak awal berdiri, rezim otoriter tersebut sudah melakukan pembungkaman terhadap pers. Setelah Tragedi 1965, 46 dari 163 surat kabar ditutup paksa oleh penguasa. Para wartawan yang pernah berhubungan langsung dengan PKI dipecat dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Setelah melakukan pembersihan, pemerintah pun menggunakan cara lain untuk melarang kebebasan pers. Salah satunya yakni dikeluarkan Undang-Undang Pers tahun 1966 yang berisi penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang berkaitan. Pertama adalah Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. Sedangkan yang kedua adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang diurus oleh Komandan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Jika salah satu dari lembaga tersebut mencabut surat izin, otomatis media tersebut berstatus dilarang.

Namun di era ini, ada relasi yang cukup erat antara pemerintah dengan pers. Keduanya masih merayakan euforia kemenangan setelah menaklukkan Soekarno. Rezim orba memberi kebebasan kepada pers yang anti Soekarno. Saat 1970, hubungan keduanya mulai renggang. Puncaknya pada peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 yang bertepatan saat Perdana Menteri Jepang Tanaka berkunjung ke Indonesia.

Kedatangan Tanaka disambut oleh demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat. Kritikan datang silih berganti melalui surat kabar. Protes bermula dari kebijakan pemerintah yang dinilai tak memihak pada rakyat.

Setelah peristiwa ini, sifat asli Orde Baru sudah nampak jelas. Ada 12 penerbitan yang dibredel oleh rezim ini, Indonesia Raya, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Senang, Pemuda Indonesia, Ekspres, Pedoman, Suluh Berita, dan Indonesia Pos. Pers di Indonesia pun tunduk pada aturan sang diktator.

Dalam buku ini, Hill juga menjelaskan tentang industrialisasi pers yang mulai tumbuh di era Orde Baru. Fenomena ini sekaligus menandai babak baru perkembangan pers di Indonesia. Aturan ketat pemerintah memaksa pers harus mencari cerdik agar tetap eksis.

Sejak saat itu, investasi dalam media menjadi bisnis yang menjanjikan banyak pihak. Awalnya, konglomerasi media masih dikuasai oleh segelintir pengusaha. Beberapa dari mereka berhasil memanfaatkan situasi politik sekaligus menjadikannya lahan bisnis.

Jika kita telisik, fenomena tersebut masih berlaku sampai saat ini. Saat beredar informasi yang menyerang pengusaha, di sanalah monopoli mulai berlaku. Apalagi, saat pers kondisinya diawasi oleh pemerintah. Besar kemungkinan, monopoli tadi cenderung menguntungkan pemerintah.

Saat industrialisasi media semakin memuncak, muncul kemudian apa yang disebut sebagai pers alternatif. Hill menyebutnya sebagai pers pinggiran. Mulanya, pers pinggiran ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap keterbatasan akses informasi. Namun pada perkembangannya, pers pinggiran ini menjadi media bersama dalam menggalang wacana untuk melakukan perlawanan terhadap rezim.

Selain itu, pers mahasiswa yang selaku pengawas oposisi juga turut membantu pers pinggiran. Puncaknya pada 1994 saat demonstrasi melawan pembredelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor. Aksi demonstrasi dilakukan dari kota ke kota dan menjalar ke seluruh daerah di Indonesia. Penolakan ini memakan waktu hingga setahun lamanya, sekaligus menjadi aksi terlama dalam sejarah pers di Indonesia.

Di sinilah poin menariknya. Hill mampu menceritakan pembredelan pers, perkembangan industrialisasi, sampai munculnya pers alternatif. Dengan kata lain, buku ini berhasil menggambarkan pasang surut pers selama kekuasaan Orde Baru.

***

Judul Buku    : Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan
Penulis           : Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit          : Indie Book Corner
Tebal               : 187 halaman
Cetakan          : 2013

Lengsernya Soeharto pada 1998 yang sekaligus menandai era demokratisasi di Indonesia membawa perubahan baru dalam tubuh pers mahasiswa (persma). Kemenangan rakyat Indonesia ternayata berbanding terbalik dengan nasib yang akan menimpanya di kemudian hari. Pergantian kekuasaan yang berujung pada Undang-Undang Kebebasan Pers Tahun 1999 membuat jumlah pers umum melonjak drastis. Arus informasi yang dulu pernah disumbat rezim Orde Baru (orba) mulai membanjiri masyarakat. Pers umum mendapatkan kembali keberaniannya untuk menyiarkan berita-berita sensitif. Tak ada ketakutan lagi terhadap pemberedelan semena-mena yang dilakukan pemerintah.

Sementara itu, persma saat era orba yang berfungsi sebagai suara alternatif masyarakat pelan-pelan mulai tersudut. Organisasi persma saat itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengalami polemik identitas yang berujung perpecahan. Pada akhirnya, gagasan “kembali ke kampus” menjadi tujuan akhir dalam fungsi persma. Meminjam istilah Wisnu, “Gagasan yang berakibat pada pergeseran orientasi pemberitaan dari state centric menjadi campus centric.”

Peralihan orientasi gagasan tersebut menjadi kewajiban persma dalam memenuhi kebutuhan informasi yang sudah seharusnya, yakni di kalangan internal kampus sendiri. Tak mengherankan, pasca 1998 informasi semacam kasus demonstasi mahasiswa menolak kebijakan rektorat, buruknya fasilitas toilet, pergantian sistem parkir, sampai visi misi universitas mendominasi pemberitaan persma.

Namun, fungsi pers yang melekat pada persma menjadi fokus kedua dalam memantau kebijakan penguasa kampus. Tak hanya itu, mereka juga menjalani peran sebagai penyambung integrasi keilmuwan di kalangan mahasiswa.

Prinsip back to campus hadir bersamaan dengan kedatangan gelombang liberalisasi ekonomi politik yang merambah ke bidang pendidikan. Keterlibatan negara dalam mengalokasikan anggaran pendidikan dilakukan sedemikian rupa. Pendidikan dijadikan komoditas dan menjadi sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing bahkan hingga 49%. Berbagai proses pendidikan mulai dari subsidi sampai aksesibilitas diserahkan kepada mekanisme pasar. Masyarakat harus menanggung beban pembiayaan yang besar agar bisa mengakses pendidikan berkualitas.

Ketika dihubungkan dengan pendidikan tinggi, gejala ini berdampak pada hilangnya subsidi yang sudah seharusnya dilakukan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada perkembangannya, kampus lebih berorientasi pada pendapatan dibanding sebuah karya yang berasal dari civitas akademik, terutama mahasiswa. Hasil tangan yang berujung pada sisi humanis dan kebuyaan seakan menghilang dari ranah yang sudah seharusnya. Mahasiswa kini menjadi konsumen oleh pihak penguasa kampus.

Ini dapat dibuktikan saat kegiatan, kalau di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri dinamakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), cenderung lebih ke dalam peran saat menghadapi dunia kerja. Mulai dari metode pengajaran, kurikulum, sampai aktivitas ekstra-kurikuler dirancang untuk melatih ketrampilan mahasiswa agar sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Selain itu, rektorat juga mewajibkan mahasiswanya untuk lulus dari kampus lebih cepat. Mereka tak menginginkan mahasiswa berkembang matang di dalam kampus.

Dalam bukunya, Wisnu memaparkan tentang relasi antara pihak kampus dengan pihak swasta yang menangani kerja sama terkait ekonomi. Dari sini, persma seakan mendapat panggilan batin untuk mengusut kejanggalan ini. Pada dasarnya, jurnalistik mahasiswa adalah upaya untuk memperjuangkan dirinya.

Sebagai mediumnya, persma menggunakan bahasa sebagai penyokong. Bahasa diolah sedemikian rupa, sehalus mungkin, demi mendapat makna tersirat untuk menusuk penguasan kampus. Dalam konteksnya, sasaran persma sendiri masih tertuju pada pihak internal kampus, belum ke pemerintah.

Wisnu pun memaparkan data-data terkait perlawanan persma terhadap komersialisasi pendidikan. Penelitian yang dilakukan Lubabun Ni’am dan Achmad Choirudin (2009) misalnya, menunjukkan bahwa tema-tema seputar liberalisasi dan kapitalisasi kampus mendominasi pemberitaan Balairung, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. “Kuantitas tema seputar praktik tersebut mencapai angka 41,6%. Bandingkan dengan tema lainnya seperti kesadaran politik civitas academica dengan angka 22,2% dan sistem perkuliahan di kampus 19,4%.”

Selain itu, Wisnu juga menerangkan bagaimana dinamika saat rapat redaksi (rapred) di sekretariat persma. Mulai dari memilih tema yang dikumpulkan masing-masing anggotanya, kemudian cara mereka liputan, menulis berita, hingga media tersebut dicetak dan disirkulasikan ke ranah kampus.

Di bukunya, ia mencontohkan tiga persma yang ada di Indonesia. Ketiganya adalah Balairung (UGM), Catatan Kaki, (Universitas Hasanuddin), dan Suara USU (Universitas Sumatera Utara). Ia beralasan, persma tersebut dipilih karena dianggap mewakili persma dalam masing-masing pulau di Indonesia. Ketiganya sama-sama membahas terkait komersialisasi dan liberalisasi yang ada di kampusnya masing-masing.

***

Judul Buku      : Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Penulis             : Moh. Fathoni, dkk
Penerbit           : PT Komodo Books
Tebal               : xiii + 230 halaman
Cetakan           : 2012

Bila menengok kembali suasana perjuangan melawan rezim semasa Orde Baru (Orba), tentunya mata tak akan luput dari aktivis pers mahasiswa (persma) Indonesia. Perlu dilihat, saat itu perlawanan mahasiswa lebih dominan lewat aksi dan demonstrasi. Namun, persma memilih cara lain. Mereka memilih untuk bergerak melalui tulisan dengan nada kritis.

Adanya aktivitas dari persma tentu tak disambut baik oleh penguasa. Berbagai cara melunakkan kegiatan persma dilakukan dengan sebab mengancam stabilitas pemerintahan. Mulai dari pembentukkan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), pembekuan dewan mahasiswa, kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sampai aturan berupa Undang-Undang (UU) yang dikeluarkan pemerintah.

Buku ini menceritakan dengan jelas terkait sejarah panjang perlawanan persma. Perkumpulan persma pada awalnya bernama Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pada 1965, organisasi ini mengambil sikap independen terhadap kebijakan pemerintah. Setahun kemudian, IPMI melawan otoritas kebijakan Soekarno (Demokrasi Terpimpin) dan melebur menjadi Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia.

Semenjak peralihan kekuasaan dari Orde Lama (Orla) ke Orba, IPMI kembali memilih sikap independen. Kebijakan orba yang berseru back to campus membuat IPMI terombang ambing. Akibatnya, IPMI ditinggalkan oleh anggotanya karena tak mampu menentukan sikap independen dan lebih sibuk dalam kegiatan kampus masing-masing.

Melihat kebijakan yang tak menguntungkan, IPMI tetap kekeuh untuk bertahan. Kenyatanya, rezim Orba terus menerus berupaya untuk menggagalkan setiap kongres nasional IPMI.  Pertemuan sesama aktivis persma seringkali terhambat dikarenakan alasan perizinan. Tak hanya itu, aktivitas mahasiswa juga dikekang lewat percepatan masa studi. Penerapan Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Tanda Terbit (STT) menjadi salah satu faktor untuk menghentikan penerbitan media di persma. Belum lagi pola pikir aktivis yang pada akhirnya mengharuskan untuk segera melakukan regenerasi anggotanya.

Akibat dari hambatan yang dilakukan rezim otoriter tersebut berimbas pada pembredelan persma oleh penguasa kampus. Korbannya adalah Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Pemberitaan majalahnya yang berisi tentang penyimpangan dana di kampus menjadi salah satu alasan rektorat dalam membredel. Tujuh media lain pun mengalami nasib serupa di berbagai daerah di Indonesia.

15 Oktober 1992, beridirilah wadah baru persma yang dinamakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). PPMI bertujuan untuk menciptakan penerbitan mahasiswa sebagai sarana pembentuk pendapat umum. Selain itu, organisasi ini memiliki visi untuk menciptakan karya ke arah kreativitas, kritis, dan dinamis.

Dari sini, Moh. Fathoni lebih menceritakan tentang internal PPMI sendiri. Ini dikarenakan latar belakang penulis berasal dari PPMI, terutama ia juga dibantu oleh kawan-kawan yang satu organisasi. Selain itu, alur yang diceritakan bergerak maju mundur.

Jika dilihat dari sumber penulisannya, buku ini lebih banyak memilih dari sumber lisan, atau biasa disebut sebagai wawancara. Pada akhirnya, penulis lebih menyimpulkan kalau buku ini lebih tepat dibilang sebagai sejarah PPMI, bukan sejarah persma secara keseluruhan.


Kesimpulan
Kisah perlawanan pers di Indonesia sampai hari ini masih abadi dalam sejarah. Bermula dari gejolak pers, kebebasan pers, hingga ancaman senjakala persma. Peralihan kekuasaan dan aturan yang berlaku adalah salah satu faktor yang merubah tradisi pers di Indonesia.

Dari sini kita bisa belajar, bagaimana suatu rezim, bahkan otorier sekalipun bisa dilumpuhkan dengan perencanaan yang matang. Entah itu melalui koalisi, gerakan bawah tanah, hingga pemberontakan besar-besaran yang membuat penguasa membuka mata. Pada dasarnya, kritik adalah sesuatu yang membangun. Jika kritik sudah berujung pada tindakan anarkis, maka ada dua sisi yang patut untuk disorot. Sisi pertama dari kebijakan pemerintahnya. Sisi lainnya berasal dari tanggapan sang penentang.